Bromo-Tengger-Semeru, tiga kata yang selalu bikin kangen. Gugusan gunungnya dikelilingi empat wilayah. Pasuruan-Probolinggo-Lumajang dan Malang. Beruntung saya tinggal tak jauh darinya. Hanya 2 jam perjalanan. Sun Rise Bromo yang eksotis bisa dinikmati dari Pananjakan, Pasuruan. Kawah Bromo dan lautan pasir lebih dekat dari Probolinggo. Puncak B29 aksesnya mudah dari Lumajang. Nah, Bromo dari Malang yang bikin penasaran.
Â
Hari itu, pukul 22.00, saya meluncur dengan Amanda, putri saya, Toriza, Metrick dan Gok Ji menuju Malang. Tepatnya ke arah Malang Timur. Rutenya melalui Kota Malang - Tumpang - Poncokusumo. Kendaraan melaju tanpa hambatan. Sampai di Poncokusumo sempat tersesat lantaran di sebuah pertigaan salah ambil jurusan. Mestinya ke arah Gubuk Klakah, malah masuk desa Poncokusumo yang sepi. Berputar dan balik arah  lebih dari 10 Km.Â
Malam makin larut saat masuk Kawasan Gubuk Klakah. Hanya satu dua motor melintas di jalan menanjak nan sepi. Desa-desa sepanjang jalan terlelap dalam mimpi. Setelah lewat Coban Pelangi, pukul 01.00 dinihari akhirnya benar-benar masuk hutan. Tak lama setelah meliuk-liuk sendirian, sampai di Pos Penjagaan yang dikelola Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru. Tiketnya 32 ribu per orang.Â
Selepas pos penjagaan. Ada 2 motor matic pasangan muda-mudi yang agaknya punya tujuan sama. Sengaja kami perlahan di belakang mereka, lantaran jalan paving lubang sana-sini. Di beberapa tanjakan berkelok tajam, satu motor matic kedodoran beberapa kali. Terpaksa ceweknya turun dan jalan kaki. Tak tega, saya menawari untuk gabung di kendaraan. Mula agak kuatir begitu tahu ada putri saya, sang cewek mau juga. Akhirnya, 2 motor  lancar menaklukan tanjakan menuju Desa Ngadas.
Di pertigaan Jemplang, "penumpang" saya turunkan karena kami punya rute berbeda. Dari jemplang turun ke  kiri menuju savana dan lautan pasir. Jika lurus menuju Ranu Pane. Jalur ke Ranu Pane makin ekstrim. Aspalnya halus tapi sempit. Pas untuk satu mobil. Jika berpapasan, pasti salah satu harus mundur cari tempat longgar untuk menepi. Karena malam, jurang di kanan kiri tak kelihatan.Â
Â
Â
Ranu Pane
Sekitar pukul 02.00, tiba di Desa Sepi Ranu Pane. Tidak lagi di Malang, tapi Senduro Lumajang! Jalannya luar biasa. Rusak Parah! Beberapa kali terdengar bunyi keras lantaran chasis dihantam batu-batu yang menonjol atau rodaa masuk kubangan. Memang medan ini cocok untuk Jeep 4x4. Tapi sudah terlanjur, he he he
Karena tak ada seorang manusia pun untuk bertanya, akhirnya saya memilih sebuah lapangan terbuka untuk rehat. Ada sebuah MAsjid di dekatnya. Sebuah Tenda Dome kedinginan di pinggir lapangan. Penghuninya lelap di dalamnya. Gulita masih melanda. Akhirnya, saya dan Amanda tidur2 ayam di mobil. Tiga lainnya pilih tidur di luar. Hmmm..... jelang subuh, dinginnya minta ampun. Di dalam mobil saya menggigil... apalagi di luar sana.
Begitu mentari menyeruak, mulai terang di sekitar. Penghuni Desa Ranu Pane mulai beraktifitas. Hmmm... pagi yang cerah di desa terpencil Lereng Semeru. Setelah berbenah akhirnya tiba di sesi jalan-jalan. Kesimpulannya, Ranu pane memang luar biasa. Danaunya bening... tenang.Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H