Jumlah mobil dan motor setiap hari bertambah. Tapi jalan raya tak bisa melebar. Akibatnya, terjadi antrian di jalan raya. Saling Salip. Kadang saling senggol. Yang kasihan adalah pejalan kaki. Kalau di kiri kanan jalan sudah tersedia trotoar atau pedestrian gak masalah. Tapi kalau bahu jalan hanya berupa sisa tanah yang sempit bagaimana. Otomatis pejalan kaki harus mengambil jatah jalan di aspal.
Jalan di Sisi Kanan
Pernah suatu ketika ada seorang teman. Lagi jalan kaki di pagi hari menyusuri sisi kiri jalan raya yang tidak ada trotoarnya. Tanpa diketahui sebabnya, tiba-tiba ada sepeda onthel nyelonong menghantamnya dari belakang. Akibatnya, si pejalan kaki dan pengonthel krunthelan di pinggir jalan. Untungnya hanya lecet-lecet. Keduanya segera bangun dan saling memahami. Salaman.
Usut punya usut, ternyata, pengendara sepeda onthel harus "membuang" sepeda onthelnya ke kiri karena tiba-tiba ada Avanza Silver dari belakang yang memepetnya. Dari pada benturan, secara refleks sepeda onthelnya juga diarahkan keluar jalan raya dan langsung mengenai teman saya yang lagi olahraga jalan kaki.
Begitulah, banyak kasus lain yang sangat merugikan para pejalan kaki saat jalan di sisi kiri jalan raya. Mengapa selama ini kita selalu jalan kaki di sisi Kiri. Apa ada aturannya? Tidak ada saya kira. Itu hanya menuruti pesan nenek moyang saat kita kecil harus berjalan di sisi jalan raya. "Hati-hati, jalan di sebelah kiri ya!" begitu pesan yang sering kita dengar. Tapi, kebiasaan jalan di sisi kiri mungkin juga mengikuti dan menyesuaikan dengan model lajur lalu lintas di Indonesia. Dimana para pengguna jalan raya harus berada di sisi kiri. Kalau di Eropa jelas di sisi kanan.
Sebenarnya lebih untung mana berjalan di sisi kiri atau kanan? Kalau masalah apes, nasib jelek atau sial itu tidak bisa diduga. Tapi antisipasi itu perlu. Logikanya berjalan di sisi kiri sangat merugikan dibanding kalau berjalan di sisi kanan. Saat kaki melangkah di sisi kiri, semua kendaraan yang searah dengan kita ada di belakang kita. Kita tidak pernah tahu apa yang ada di belakang kita. Kalau motor dan mobil ada Spion. Lha pejalan kaki masak harus tolah toleh ke belakang terus, sebagai pengganti Spion.
Beda kalau kita berjalan di sisi kanan. Arah berjalan kita melawan arah arus lalu lintas. Mau tidak mau setiap saat apa yang ada di depan kita akan terpantau. Paling tidak kalau ada kegawatdaruratan, refleks yang akan beraksi. Entah melompat, berteriak atau yang lain. Kesimpulannya, berjalan kaki di sisi kanan lebih menguntungkan karena mampu meminimalkan resiko.
Tentu saja berjalan di trotoar atau pedestrian sangat disarankan. Tapi, sebaiknya tetap ambil sisi kanan. Kita masih ingat kasus Tugu Tanti. Pejalan kaki di jalan raya dan di trotoar yang sedang olahraga pagi diseruduk Avanza dari belakang. Korban berjatuha. Ya, karena yang di trotoar pun jalannya di sebelah kiri. Mereka tidak bisa bereaksi kalau ada mobil nyelonong gara-gara pengemudi mabuk, konsumsi narkoba atau ngantuk tidak bisa menguasai kendaraannya Jadi, sebaiknya jalan kaki di sisi kanan dibudayakan.....
Jembatan Penyeberangan
Pejalan kaki sering kita jumpai juga tidak patuh pada aturan. Menyeberang di tengah keramaian tanpa lewat jembatan penyeberangan. Tidak sepenuhnya ini kesalahan pejalan kaki. Ada dan banyak sih memang pejalan kaki yang bandel. Enggannya pejalan kaki memanfaatkan jembatan penyeberangan biasanya karena faktor efisiensi. Tidak mau memutar. Jaraknya terlalu jauh. Jembatannya kurang strategis. Yang menjengkelkan, jembatan penyeberangan sering kotor. Pesing, bau kencing. Juga sering dimanfaatkan pengemis yang duduk di bordes jembatan. Kalau itu sih nggak seberapa. Siapa yang menjamin keamanan pejalan kaki dari pemalak saat lewat di jembatan penyeberangan yang kumuh, gelap di malam hari dan tidak terawat. Horor!
Seyogyanya, pejalan kaki juga mengikuti aturan main jika kondisi jembatan penyeberangan sudah representatif. Layak digunakan dan tidak ada resiko.
Pilihan lain untuk menyebarang adalah melewati Zebra Cross. Sayangnya tidak semua Zebra Cross di jalan-jalan utama ada Bangjo-nya alias traffic light untuk pejalan kaki. Nah, kita tahu kebiasaan di jalan oarng-orang kita (mungkin termasuk saya kadang-kadang). Sering terburu-buru dan nggak mau mengalah. Dengan sesama kendaraan saja jarang mengalah apalagi dengan pejalan kaki. Coba lihat, terhalang sedikit saja, klaksonnya menyalak berulang-ulang. Akibatnya, kalau pejalan kaki nggak "nekat"Â walau sudah berdiri di Zebra Cross, nggak akan bisa nyebrang lantaran tidak ada kendaraan yang lajunya dipelankan. Solusinya ya sabar. Nunggu sepi atau minta tolong Supeltas (sukarelawan pembantu lalu lintas yang kebetulan ada di situ.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H