Wanita Perkasa
Namun, seakan tak peduli terik mentari, ibu-ibu di kampung nelayan Pantai Watu Pecak terus bekerja. Untuk menghindari sengatan mentari, mereka menutup kepala dengan caping (topi bambu). Muka ditutup dengan kain seadanya. Sepertinya tak ada peluh dan keluh. Saya hitung tak kurang dari 20 deretan kantung (karung) sudah penuh terisi pasir hasil ayakan.
“Kalau mampu ya bisa dapat 25 sampai 30 karung per hari Mas,” sahut seorang ibu nelayan saat saya tanya berapa karung yang biasa diperoleh tiap harinya. Memang, pasir laut di pantai ini begitu melimpah. Hanya perlu tenaga untuk menjadikannya rupiah.
Ibu nelayan yang sebut saja Bu Warni sungguh sangat ramah. Sambil terus bekerja, beliau bersedia menjawab satu dua pertanyaan saya. Ternyata, pasir-pasir yang sudah terkumpul dalam kantung (karung) itu disetorkan pada pengepul yang mereka sebut sebagai Bos. Pengepul-pengepul inilah yang menyiapkan karung-karung dan membeli pasir hasil kerja seharian para ibu nelayan.
“Hanya seribu rupiah per karungnya Mas!”, sahut Bu Warni saat saya tanyakan harga jual pasir per karungnya. Jleg… bekerja seharian, berteman peluh, debu dan sengatan mentari ternyata rejeki Bu Warni, juga ibu-ibu lainnya hanya 25 ribu sampai 30 ribu. Sungguh wanita-wanita nerimo dan tangguh.
Catatan:
1. Penambangan pasir laut di Pantai Watu Pecak memang dilematis. Di satu sisi sangat dibutuhkan untuk mengepulkan asap dapur. Di sisi lain sangat berdampak negatif pada lingkungan. Jika pemerintah melarangnya, maka perlu solusi pekerjaan bagi wanita-wanita perkasa di Pantai Watu Pecak ini.
2. Di saat tertentu, oleh umat Hindu Lumajang, di Pantai Watu Pecak digelar Melasti, upacara penyucian diri dan alam semesta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H