[caption id="attachment_390038" align="aligncenter" width="568" caption="Ilustrasi, Kurikulum 2013 (Kompas.com)"][/caption]
Gonjang ganjing implementasi Kurikulum 2013 (K13) nampaknya mulai mereda. Semua sekolah sudah mengambil posisi masing-masing. Begitu pula para  Kepala Dinas yang awalnya  ngotot  melaksanakan K13, akhirnya banyak yang pilih aman mengikuti Anies Baswedan. Surat Edaran Anies Baswedan tanggal 5 Desember 2014 dan diperkuat Permendikbud Nomor 160/ 2014 sudah gamblang  memberikan aturan main dan payung hukum. Kok masih mau ditawar lagi? Entahlah? Apa yang ada dibenak para petinggi pendidikan itu jika masih ada yang mau membangkang atau menawar permendikbud yang sudah terang benderang itu. Untuk kepentingan siapa merek ngotot mempertahankan K13? Saya (pura-pura).. tidak tahu.
Gado-gado
Jika dikalangan kemendikbud, mulai PAUD, Dikdas dan Dikmen, gaung pro kontra Kurikulum K13 sudah cooling down, maka bebeda di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag). Di negeri ini, Kemenag memberlakukan kurikulum-nya  di Madrasah dan (sebagian) pondok-pondok pesantren. Tentu saja, Madrasah mengadopsi sebagian kurikulum yang diterbitkan oleh Mendikbud khususnya untuk mata pelajaran umum. Ini sudah lazim. Tidak ada masalah.
Tapi, begitu Permendikbud 160/ 2014 digulirkan oleh Anies Baswedan, rupanya hanya diikuti setengah hati oleh kalangan petinggi Kemenag dan Madrasah.  Mereka tidak seragam menyikapi kebijakan Anies Baswedan  dengan segala macam argumentasi dan kepentingan. Puncaknya, Kemenag  menerbitkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 207/ 2014.
Intinya, Kemenag memberikan peluang bagi Madrasah untuk melaksanakan 2 (dua) kurikulum secara bersama--sama untuk tingkat (kelas) yang sama seperti yang tercantum dalam Diktum KEDUA dan KETIGA KMA 207/ 2014. Ini jelas aneh. Lucu bahkan ganjil. Bagaimana mungkin sebuah kelas (tingkat) dikelola dengan dua kurikulum yang berbeda. Memang, di KMA itu tertulis, mata pelajaran Kurikulum 2013 adalah Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab. Sedangkan mata pelajaran Kurikulum 2006 adalah mata pelajaran umum. Kalau struktur mata pelajaran memang tidak bermasalah. Lha bagaimana dengan standar penilaiannya? Inilah kurikulum Gado-gado ala Kementerian Agama itu.
Lazimnya, satu kelas ya satu kurikulum. Tidak dicampur aduk. Dalam kelas dan waktu yang sama, menggunakan 2 kurikulum berbeda adalah sebuah pilihan yang tidak bijaksana. Saya tidak mau berandai-andai untuk siapakah semua itu dilakukan, Â karena jawabannya sudah jelas: bukan untuk siswa.
Tidak Konsisten
Menindaklanjuti KMA nomor 207/2014 yang menyisakan persoalan penilaian lantaran diberlakukannya Kurikulum gado-gado 2006 dan 2013 secera simultan, agar di grass root tidak timbul kebingungan, segera kementerian agama meluncurkan Surat Edaran, Nomor SE/DJ.I/PP.00.6/1/2015. Intinya, Penilaian Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab, mengikuti Standar Penilaian Kurikulum 2006. Hebat nggak!