Ketika menjadi romli di Muktamar NU ke 34 Bandar Lampung. Saya bersama rombongan PCINU yang masih aktif atau yang sudah kembali ke tanah air menginap di Asramah Al-Ghazali. Rupanya, asrama pesantren yang di asuh oleh Ibu Nyai Evi menjadi tempat yang nyaman bagi semua warga NU, baik yang dari PCINU, maupun PCNU Kota Malang. Baik yang masih aktif dalam pengurusan  maupun sudah purna tugas. Walaupun faktanya, tidak ada istilah purna tugas bagi warga NU.
Setiap hari, para muktamirin, baik yang aktif maupun pengembira selalu keliling dari satu tempat ke tempat lain untuk mengikuti jalan acaranya muktamar, seperti; UIN Raden Intan, UNILA, juga tempat pembukaan Pondok Pesantren Darussa'adah Lampung Tenggah yang di asuk oleh KH Muhsin.
Asyiknya, sebagian besar dari anggota muktamirin mengenakan busana Sarung. Sehingga sulit membedakan antara Kyai dan santri. Karena dalam tradisi NU, baik Kyai maupun santri, keduanya paling demen sarungan. Kalaupun ada yang memaki jas dan berdasi, itu sangat langka sekali.
Ada satu orang yang memakai jubah, ternyata setelah saya dekati, ternyata beliau adalah Dr. Fahmi utusan dari PCINU Arab Saudi. beliau pengajar resmi di sekolah tertua di Makkah, yaitu Madrasah Souliyah. Dulu, KH Muhammad Hasyim Asaary pernah belajar di madrasah ini. Sedangkan dua rekannya, memakai celana dan peci hitam. Saat saya berbincang-bincang dengan Dr. Fahmi, beliau berkata "Di muktamar NU, semua memakai sarung, sehingga sulit membedakan antara Kyai dan Santri. Beliau menambah, sebagian besar tidak berjenggot".
Sarung itu pasti, sedangkan busananya warna warni, mulai blangkon, seragam batik menjadi ciri kha swarga NU saat seminar. Juga peci hitam dengan logo NU yang menjadi kebanggaan. Bahkan ada peci khas dari berbagai daerah dengan tulisan Logo NU, seperti; Peci khas lampung, Makasar, Medan, Jawa, dan juga daerah lainnya.
Bagi anak-anak muda NU, mereka juga menggunakan busana khas daerah mereka, dan juga banomnya, seperti; ISNU, Ansor, Pagar Nusa, Banser. Bahkan seragam Banser dan Jas motif NU serta logo NU laris keras. Sampai-sampai satu kaos dengan logo Muktamar NU ke 34 di bandrol 100 ribu.
Tempat jajanan begitu banyak dan asyik, seperti; Durian Lampung, Cempedak, Kopi, Empek-Empek, semua bisa diperoleh dengan mudah. Harganya sangat terjangkau. Belum sempurna rasanya, ketika Muktamar NU di Lampung belum merasakan Durian dan Cempedak. Sepanjang jalan menuju lokasi pembukaan muktamar berjajar durian dan cempedak.
Mukmatar NU yang digelar setiap lima tahun sekali, menjadi ajang silaturhami bagi setiap warga NU, baik dari kalangan elit, maupun kalangan alit. Muktamar NU, itu seperti; Hari Raya Warga Nahdiyin dari berbagai pelosok negeri. Mereka menyiapkan duit untuk belanja, sekaligus ngalab berkah dari para ulama pendiri NU, juga para ulama yang sedang hadir dalam muktamar NU.
Dalam muktamar NU ke 34 Bandar Lampung kali ini, saya Menemukan anak-anak muda yang menyuguhkan kopi susu khas Makasar. Rupanya, ada 11 orang dari Ikatan Sarjana NU (ISNU) Gorontalo berbagi makan ringan dan kopi khas Gorontalo kepada para muktamirin. Mereka dengan senang hati melayani tamu dari berbagai penjuru Nusantara. Menariknya, kopi susu dan makanan khas bolu itu disajikan gratis-tis.
Mereka datang dengan biaya sendiri. Dengan semangat cinta NU. Sedangkan smber dana dari kegiatan selama di Gorontola. Sisa dari setiap kegiatan dikumpulkan untuk kegiatan social, termasuk memberikan susu gratis kepada muktamirin.
Kegiatan ini bisa berjalan dengan lancar karena peran dari Rektor Universitas Negeri Gorontalo. Dia, bukan saja menjadi rector, beliau sekaligus menjadi Ketua ISNU. Nama beliau sudah tidak asing lagi bagi warga NU, tetapi asing bagi yang belum mengenalnya, Â beliau adalah Dr. Ir. Eduart Wolok, ST MT IPM.
Pada malam pemilihan ketua umum yang lokasinya di UNILA, saya-pun benar-benar bisa menikmati racikan kopi Gorontalo dan bolunya. Enak, legit dan asyik. Ini salah satu potret dari kegiatan anak muda yang memberikan sesuatu yang terbaik kepada NU. Walaupun mereka tidak kenal calon ketua PBNU, dan juga tidak pernah berfikir menjadi pengurus NU. Yang jelas, kipra anak milenial NU menjadi bukti nyata, bahwa cinta NU, tidak harus menjadi pengurus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H