Jangankan Gus Dur, wong Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra, harus menyerah di tangan Muawiyah Ibn Abi Sofyan. Sedankan Hasan dan Husain harus menyerah putranya Yazid Ibn Muawiyah. Bahkan, Sayyidina Hasan harus terbunuh ditangan istrinya sendiri, atas perintah Yazid Ibn Muawiyah. Sayyidina Husain-pun harus terbunuh dengan cara dipenggal kepalanya. Itulah fakta politik.
NU, organisasi ke-islaman yang sangat kuat, dan terbagun pada kultural, walaupun tidak dinafsikan tetap ada unsur. Bagi warga NU, tidak pengting siapa ketua NU-nya, yang paling penting tetap dibolehkan merayakan Maulid Nabi, tahlilan, manakiban. Maka, siapa-pun orangnya, ketika mendekati NU dengan pendekatan Maulidan, Tahlilan, Manakiban, pasti mendapat respon positif, apalagi mendapat perhatian khusus dalam kesehatan, ekonomi, dan pendidikan.
Di era medos, warga NU mulai menamppakan kejenggahanya terhadap para politisi yang memperalat NU sebagai alat menuju kepuasan pribadinya dalam masalah politik. Mereka tidak lagi merawat NU, namun menjadikan NU sebagai panggung politik untuk mendapatkan apa yang para politisi inginkan.
Restu Arwah Para Kyai
Nah, orang yang haus dengan kekuasaan, walaupun berkali-kali mencalonkan diri menjadi calon Presiden R1, tetap tidak akan mampu meraihnya. Karena rerstu para ulama NU sangat penting, dan lebih penting lagi ulama NU yang Khumul, dan yang paling penting adalah restu ulama NU yang sudah wafat.
Menurut jaringan dunia lain, setiap warga NU yang ingin menjadi ketua PBNU harus mendapat tiga restu:
- Restu Kyai yang masih hidup, biasanya banyak sowan kepada mereka. Ini kategori biasa-biasa aja, tidak ada yang asyik diperbincangkan.
- Restu ulama Jaddab itu baru luar biasa, seperti; Wan Syaikah, Habib Bakar Gresik, serta ulama-ulama Khumul lainnya.
- Restu arwah para kekasih Allah SWT yang sudah wafat. Ini luar biasa, seperti; restu Mbah Siddiq, Mbah Shalih Darat, Mbah Khalil, Mbah Hasyim Asaary, Mbah Bisri, Mbah Wahab, Mbah Abdul Wahid, dan Mbah Abdurahman Wahid, Mbah Hamid, Mbah Hasan Gengong, Mbah Karim, Mbah Ikhsan Jampes, Mbah Maemun Zubair, Mbah Sahal, baru luar biasa.
Mbah Hasyim, Mbah Khalil, Mbah Siddiq dalam dunia mereka pasti melakukan rapat terbatas, bahkan dalam rapat melibatkan Nabi Khidir siapa yang akan menjadi ketua PBNU 2021. Mereka tidak akan rela jika para politisi mengatur dan ngobok-ngobok NU. Walaupun berkali-kali ziarah ke Makam, para pendiri NU, justru enggan menemuinya.
Merawat Tradisi NU dan Merawat Umatnyta
Tradisi NU sampai kapanpun, tidak akan pernah pudar, yang memudarkan tradisi itu adalah politisinya. NU dan warganya tidak perduli siapa yang akan menjadi ketua NU, yang diperdulikan adalah Tahlilan, Maulidan, serta manakiban. Suatu saat, ketua NU, tidak akan dikenal oleh masyarakat, yang dikenal adalah Kyai kampung yang mengajarkan tahlilan, maulidan, dan manakiban.
KH Muhammad Tholhah Hasan pernah bertutur bahwa kekuatan NU terletak pada kegiatan rutin yang Bernama "lailatul ijtima". Nah, saat ini kekuatan NU terletak pada tradisi maulidan, manakiban, tahlilan, dan istighasah. Siapa-pun orangnya, ketika bisa merawat dan melestarikan tradisi di atas, berarti akan merawat NU masa depan.
Sudah waktunya, NU kembali, sudah waktunya NU ngopeni masyarakat dan masjid-masjid, sudah waktunya ketua NU yang akan datang memikirkan masa depan NU, bukan masa depan dirinya sendiri. Â KH Muhammad Tholhah Hasan pernah menyampaikan "kita harus hadir ditengah-tengah masyarakat, dan memberikan kebutuhan mendasar masyarakat, seperti; pendidikan, kesehatan, ekonomi.