Membunuh mendapat pahala, jika terbunuh pasti masuk surga. Sementara orang yang terkena dampaknya, diserahkan kepada Allah. Begitulah cara berfikir kaum radikalisme, yang sebagain besar memakai celana cingkrang dan berjenggot. Kadang jidatnya hitam. Sementara perempuanya memakai cadar. Padahal, tidak semua pemakai cadar dan cingkrang itu radikal. Cukup banyak, pemakai cadar dan cingkrang itu humanis, demokratis, serta toleransi, bahkan moderat. Jadi, cingkrang itu bukan teroris, cadar juag bukan radikalis.
Teringkat sosok pembunuh sahabat Ali Ibn Abi Thalib ra. Dia adalah Abdurrahman bin Muljam. Orangnya rajin ibadah, hafal Alquran, rajin puasa sunnah dan sholat malam. Hanya satu dalam pikiran Ibn Muljam "Ali Ibn Abi Thalib itu kafir, karena tidak menggunakan Alquran sebagai landasan hukum". Karena Ali Ibn Abi Thalib ra menerima hasil perundingan antara dirinnya dan Muawiyah Ibn Abi Sofyan. Sebenarnya, Muawiyah juga mendapatkan ancaman pembunuhan, tetapi selalu selamat.
Hampir semua teroris itu rajin ibadah wajib dan sunnah. Mereka paling demen dengan istilah "berpegang teguh pada Alquran dan sunnah". Mereka ingin menerapkan Alquran dan sunnah dalam sebuah Negara. Negara yang benar itu bentuknya Khilafah. Wajar, jika kaum radikalis itu menilai bahwa Pancasila itu Thogut (berhala), hormat terhadap bendera merah putih itu syirik, dan demokrasi itu adalah kufur.
Dalam pikirannya teroris, membunuh itu merupakan jihad dijalan Allah. Pahalanya adalah surga. Sementara bidadari sudah menunggunya. Dalil yang selalu digunakan adalah "Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir" (Al-Maidah (5 :44). Ayat ini, juga digunakan oleh Ibn Muljam ketika membunuh sahabat Ali Ibn Abi Thalib ra.
Jika sahabat Ali Ibn Abi Thalib ra, sosok yang hafal Alquran, semua jihad dikutinya. Allah SWT juga menjamin surga baginya. Beliau juga anak angkat dan menantu Rasulullah SAW. Ali juga sat-satunya remaja yang pertama kali masuk islam. Gegara menerima perundingan, kemudian dicap keluar dari islam, apalagi menerima Pancasila sebagai ideology, dan merah putih sebagai bendera, dan demokrasi system pemilihan pemimpin. Sudah pasti kafir, dan halal darahnya.
Padahal, demokrasi itu bagian dari islam. Terbukti, ketika Rasulullah SAW wafat, proses pemilihan pengantinya tidak melalui penujukkan secara langsung melainkan melalui proses musyawarah umat islam. Ketika Abu Bakar wafat, tidak digantikan anaknya. Ketika Umar Ibn Al-Khattab ra wafat, juga tidak digantikan anaknya. Usman dan Ali Ibn Abi Thalib ra, juga demikian.
Sementara Khalifah Muawiyah Ibn Abi Sofyan ketika wafat, beliau sudah menunjuk anak sebagai pengantinya. Hal ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan Khulafau Al-Rasidin di dalam menjalankan pemerintahaanya. Dengan demikan, Khalifah Muawiyah Ibn Abi Sofyan tidak menjalankan sunnah Rasulullah SAW dan Khulafau Al-Rasidin dalam menjalankan system pergantian pemimpin. Muawiyah Ibn Abi Sofyan hanya menggunakan istilah "Khalifah", sementara dalam proses pemilihan penganti tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah.
Demokrasi itu Bagian dari Sunnah
Rasulullah SAW itu tidak menujuk Ali Ibn Abi Thalib sebagai pengantinya (khalifah), walaupun Ali ra itu layak dan mampu, serta berhak dari segi nasab. Ini menjadi dalil qoti, bahwa model pemerintahan tidak harus berbentuk Khilafah, juga tidak harus monarki (kerajaan), juga tidak harus kekaisaran, juga tidak harus demokrasi, atau kesultanan.
Rasulullah SAW hanya mengisyaratkan dalam sebuah hadisnya, bahwa ke-khilafahan itu hanyalah tiga tahun lamanya. Sabda Rasulullah SAW "Kekhilafahan dalam umatku tiga puluh tahun, kemudian setelahnya masa mulkun." (HR. Ahmad, Al-Tirmidzi).
Fakta membuktikan bahwa Abu Bakar Al-Siddiq, ketika mengantikan Rasulullah SAWS berusia 63. Beliau menjadi Khalifah selama 2 tahun 5 bulan 11 hari. Setelah wafat, Abu Bakar Al-Siddiq di makamkan di Hujrah Rasulullah SAW. Ketika masih hidup, Abu Bakar ra, tidak menuliskan wasiat, siapa yang akan mengantikannya.
Dengan proses pemilihan secara demokrtis, akhirnya Umar bin Khatthab ra, terpilih menjadi penganti (Khalifah Abi Bakar ra). Umar Ibn Al-Khattab ra mendapat gelar Amirul Mukminin. Beliau menjadi Khalifah dalam qurun 10 tahun lebih 6 bulan 4 hari. Beliau terbunuh ketika sedang melaksanakan sholat subuh. Kemudian dimakamkan di Hujrah Al-Syarifah berdampingan dengan Rasulullah SAW dan Abu Bakar Al-Siddiq ra.
Utsman Ibn Affan ra, kemudian diangkat menjadi khalifah (pengganti) Umar Ibn Al-Khattab melalui proses pemilihan yang demokratis. Dengan segala kelebihanya, Usman Ibn Affan yang usinya tidak muda lagi menjadi Khalifah penganti Umar Ibn Al-Khattab ra. Selama 12 tahun lamanya, Usman Ibn Affan menorehkan prestasi yang gemilang. Usman Ibn Affan tidak pernah mengambil gajinya. Namun, pada tahun 35 H/ 17 Juni 656 M, Usman Ibn Affan ra, terbunuh saat beliau sedang membaca Alquran. Â
Khalifah berikutnya adalah Ali Ibn Abi Thalib ra. Proses pemilihanya juga melalui pemilihan yang demokratis, bukan karena keturunan dan penunjukkan. Hanya saja, Ali Ibn Abi Thalib ra, tidak lama menjadi Khalifah. Pada 17 Ramadhan 40 H (661), Ibnu Muljam menusuknya, saat Ali Ibn Abi Thalib ra sedang melaksankan sholat subuh. Alasan sang pembunuh sederhana "Ali Ibn Abi Thalib ra, sudah tidak menggunakan hukum, maka di anggab kafir dan halal darahnya".
Maka, pada 10 Ramadhan 40 H (660 M), masa ke-khilafahan yang dikatakan Rasulullah SAW berahir. Totalnya, 30 tahun. Dengan perincian Abu Bakar 2 tahun, Umar Ibn Al-Khattab 10 tahun, dan Usman Ibn Affan ra, 12 tahun, dan Ali Ibn Abi Thalib 6 tahun. Maka, hadis yang diriwayatkan Imam Al-Tirimidzi sangat relevan dengan kenyataan.
Khilafah Muawiyah, Abbasiyah, Ustmaniyah Prakteknya Bukan Sunnah
Karena tidak ada teks yang jelas seputar bentuk pemerintahan, maka umat islam setelah Khulafau Rasidin. Rasulullah SAW juga membatasi 30 tahun. Selanjutnya adalah "masa mulkun" kerajaan. Maka, sangat wajar jika kemudian Muawaiyah menunjuk putranya sebagai pengantinya. Begitulah seterusnya. Dengan demikian, seorang Khalifah itu adalah Raja yang berhak melakukan apa saja. Mau menikah dengan berapa wanita, mau minum dan bermabuk-mabukan, mau memenjarakan ulama, bahkan membunuh ulama juga biasa.
Dari segi istilah "Khilafah", sang pemimpin disebut dengan "Khalifah". Istilah Khalifah itu sudah sunnah, tetapi praktek dan proses pemilihanya tidak sesuai dengan proses pemilihan Khulafau Al-Rasidin. Tidak satu-pun kebijakan yang dibuat oleh seorang Khalifah kecuali harus diikuti. Ketika ulama atau masyarakat memprotes, atau tidak setuju maka harus menerima konsekwensinya. Dipenjara atau dibunuh. Ini tidak pernah terjadi pada masa Khulafau Al-Rasidin.
Dengan runtuhnya Khalifah Umawiyah, Abbasiyah, dan Ustmaniyah, maka demokrasi menjadi solusi terbaik. Proses pemilihanya melalui musyawarah. Seorang pemimpin, tidak diperkenankan menunjukkan putra, atau orang dekatnya sebagai penggantinya. Seorang pemimpin hasil pemilihan secara demokratis tidak diperkenankan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan. Secara tidak langsung, demokrasi itu sangat cocok dibandingkan dengan Khilafah.
Ketika era Khilafah, masih ada perbudakan. Ketika era demokrasi, semua memiliki hak yang sama di dalam mengabdikan diri kepada allah SWT. Seseorang tidak diperbolehkan memperbudak sesama hamba Allah SWT. Lihat saja, Khilafah ISIS yang bubar karena terbunuhnya Abu Bakar Al-Bagdadi sang Khalifah. Mereka masih menjadikan wanita-wanita sebagai budaknya. Di perlakukan seenaknya dalam urusan seksual, Â dengan mengatasnamakan agama membolehkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H