Mohon tunggu...
Abdul Adzim Irsad
Abdul Adzim Irsad Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar di Universitas Negeri Malang

Menulis itu menyenangkan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Amien Rais dan Buya Maarif, Muhammadiyah, Mesra dengan Megawati

14 Juli 2017   10:15 Diperbarui: 14 Juli 2017   22:45 2242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebenarnya, Indonesia itu sudah terlambah membubarkan HTI, karena Negara-negara Islam, seperti; Arab Saudi, Mesir, Brunai, Malaysia, Emirat Arab, Kuwait, Maroko, Jordania, sudah lebih dulu melarang. Tidak tepat jika presiden Jokowi tidak suka dengan islam, yang benar ulama Indonesia dan pemerintah Indonesia risih dengan HTI yang sukanya bikin gaduh, dan merongrong NKRI, dengan mengatakan "Pancasila Thogut, Demokrasi Hara, hormat benedar Merah Putih syirik".

Kali ini, saya mencoba melihat organisasi Muhammadiyah dan sikapnya terhadap pemerintah dan terhadap HTI. Secara umum, Muhammadiyah tidak ikut-ikutan mendesak pemerintah membubarkan HTI. Mungkin karena takut, atau hati-hati, atau barangkali banyak simpatisan Muhammadiyah ikut serta dalam organisai terlarang di Negara-negara islam dunia. Bisa jadi, Muhammadiyah pura-pura tidak tahu menahu masalah HTI, karena masih banyak urusan yang lebih penting.

Tapi, yang jelas tokoh-tokoh Muhammadiyah, baik yang ikut serta dalam politik, atau tidak sangat berbeda. Khususnya, sikap Buya Maarif dan Amin Rais, serta Din Syamsudin. Mereka tokoh-tokoh Muhammadiyah yang masih punya suara, dan masih banyak pengikutnya.

Barangkali, ini menjadi langkah maju bagi Muhammadiyah. Sebab, sebelumnya Muhammadiyah itu ibarat kerajaan, semua harus dan wajin taat terhadap titah pusat. Sekarang, lebih maju sedikit. Berbeda pendapat sudah muali terbiasa, apalagi sikap politik, terutama pemilihan Presiden dan Gubernur DKI. Muhamamdiyah, sekarang makin keren.

Sebenarnya, kritikan itu sudah pernah disampaikan oleh sosok guru besar IAIN Sunan Kalijogo yaitu Prof.Dr. Munir Mulkhan tokoh Muhammadiyah dalam sebuah karyanya menulis sebuah buku fenomenal seputar organisasi Muhammadiyah. Buku ini merupakan kritikan pedas, sekaligus penjelasan seputar organisasi yang di dirikan KH Ahmad Dahlan.

Menurutnya, Muhammadiyah itu ada empat kelompok, pertama yaitu MU Purifikasi, yaitu mereka ingin kembali pada tauhid yang murni, sebagaimana pada masa Rosululullah SAW sahabat. Jika MU Purifikasi busananya harus jubbah dan cingkrang lagi (mata kakinya tidak boleh terlihat). Jengot juga harus panjang, sholat subuhnya tidak pakek qunut, tarawehnya 8 rakaat. Tidak boleh ikutan maulidan dan tahlilan, karena di anggab tidak sesuai dengan ajaran Rosulullah SAW. Dengan kata lain "bidah" dan di anggak masuk neraka. Politiknya harus islami, tidak boleh menggunakan asas Pancasila, tetapi harus berazaskan Al-Quran dan sunnah.

Selanjutnya, yaitu Muhammadiyah model kutural yang membaur dengan masyarakat pada umumnya. Dakwahnya melalui budaya kultural juga. Biasanya, MU yang seperti ini bisa membaur dengan masyarakat setempat. Kadang ikutan maulidan, tahlilan, busananya juga pakai celana jin, jengotnya juga dicukur rapi. Tetapi, tarawehnya menyesuaikan. Walaupun masih tetap yakin yang benar itu delapan rakaat, subuhnya juga tidak qunut, tetapi kadang qunut juga. Kadang mereka lebih nyaman dengan NU, karena kulturnya sama, bisa guyonan dengan gayeng dan nyaman.

Selanjutnya MUNU (Muhammadiyah NU). Nah, yang satu ini memang menarik, karena Muhammdiyah yang seperti ini bisa dikatakan tidak memiliki pendirian sebagai Muhammadiyah sejati. Mereka kadang-kadang bisa menjadi NU, dan bisa menjadi MU. Ada semacam guyonan, mereka kalau menikah dengan warga NU, dan melahirkan seorang putri, maka putrinya di namakan " Situ MUNA: Muhamamdinyah Nahdhotul Ulama"

Muhammadiyah model begini, kadang tidak suka dengan ulah elit Muhammadiyah yang pragmatis. Kalaupun ada yang ikutan oraganisasi Muhammadiyah,  masalah ubudiyah tetap mengikuti Ubudiyah NU, meraka merasa ubudiyah Muhammadiyah terasa kering, seperti; wirid usai sholat tidak boleh, sholawatan bersama-sama tidak boleh, bahkan mengucapkan sayyidina kadang ada yang melarang. Ibarat makanan, kurang sedep.

Selanjutnya yaitu Marhaenis Muhammadiyah, yaitu masyarakat Umum yang termarginalkan. Sementara ini, Muhamamdiyah terlihat elitis, sehingga orang-orang awam seolah-olah ditinggalkan oleh Muhammadiyah yang berkemajuan. Apalagi, ikon Muhammadiyah sekarang "Muhammadiyah Berkemajuan", maka orang-orang awam yang hidup di pelosok, seperti; petani tembakau yang bekerja di sawah dan di ladang, para nelayan, para pedagang pasar, tidak lagi bisa berharap, karena semua sudah bekemajuan.

Lihat saja, hampir semua sekolah di bawah naungan Muhammadiyah yang murah, mulai tingkat SD hingga Universitas. Apalagi setelah munculnya statement Yunahar Ilyas yang mengatakan "Madrasah Diniyah itu seperti kursus". Semakin memperjelas bahwa memang Muhammadiyah itu untuk kalangan elit, bukan orang awam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun