Tidak ada yang lebih menarik merayakan Idul Fitri, melebihi merayakan kampung sendiri. Karena itulah masyarakat Indonesia memiliki tradisi mudikria bersama keluarga.Orang kampung yang menyebar di seluruh Nusantara, khususnya yang bermukim di kota-kota besar, seperti; Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, Bali, mereka mempersiapkan dirinya agar bisa mudik, merayakan hari raya bersama keluarganya di Kampungnya masing-masing. Khususnya merayakan momonentun Idul Fitri bersama ayah dan ibunya.
Para pemudik itu, tidak semuanya mengerti ajaran agama dengan baik, tetapi kadang mereka benar-benar mengamalakan ajaran agamanya dengan baik. Misalnya, ada sebagian orang menganggap bahwa mudik dan anjang sana keluarga dan tetangga tidak ada dasar dalilnya. Dengan kata lain “bidah” yang konotasinya “sesat”.
Orang yang berkata seperti ini bisa dikatakan “kurang kerjaan”. Para pemudik ketika pulang kampung itu tidak perlu dalil yang shohih. Hakekat dari mudik itu ingin sungkem dan mencium tangan ayah ibunya serta meminta doa kepada kedua orangtua pada hari yang sangat istimewa. Menatap wajah kedua orangtua dengan penuh kasih sayang saja mendapatkan pahala, apalagi datang dan memeluknya dengan penuh kasih sayang?
Orang akan mengeluarkan banyak biaya, tenaga, kadang mereka melakukan apapun agar bisa pulang ke kampung halamannya. Tujuan utamanya adalah bertemu dengan keluarga, khususnya ayah ibunya. Dengan begitu, mudik itu merarti membumikan ma’na sunnah Rosulullah di bumi Nusantara.
Rosulullah SAW saja menyempatkan diri, bersusah payah pergi berziarah ke Makam ibunya di Abwa’ yang jaraknya sekitar 150 km. Ketika masih muda Nabi seorang diri. Ketika Rosulullah SAW sudah hirah dan bermukim di Madinah, Nabi SAW mengajak para sahabat berziarah ke Makam Ibunya. Itu dilakukan itu memberikan pelajaran berharga agar supaya para pengikutnya melakukan apa yang telah dilakukan, dimana saja. Itulah sunnh Rosullah SAW.
Nabi SAW datang ke Abwa ketika ibunya sudah tiada. Nah, bagi umat islam yang tidak mau mudik, dengan alasan tidak punya uang, padahal dirinya mampu. Maka, kalah dengan Rosulullah SAW. Bagi orang yang tidak mau mudik dengan alasan “sibuk bekerja” sementara kedua orangtuanya masih hidup, maka betapa menderitanya seorang ibu memiliki anak seperti ini. Orangtua itu kadang tidak perlu bawaan, tetapi hanya ingin menatap wajah putra-putrinya. Mudik itu berarti menyenangkan hati orangtua.
Sebuah hadis yang sangat indah terkait dengan berbuat baik kepada kedua orangtua (Birril Walidain), yautu ucapan Rosulullah SAW yang artinya “celaka sekali (rugi), bagi orang yang memiliki kedua orangtua yang sudah lansia atau salah satunya, tetapi tidak menyebabkan dirinya masuk surga (HR Al-Hakim). Sejauh mana seorang anak memberikan kebahagiaan terhadap ibunya, maka sejauh itu pula Allah SWT membahagiakan dirinya. Memperhatikan orang tua itu berarti telah mengambalkan sunnah Rosulullah SAW.
Makna yang tersirat dalam mudik itu sangat indah. Seorang anak ingin membuktikan dirinya sangat menyayangi dan memperhatikan keluarganya. Seorang anak ingin meminta doa kepada kedua orangtuanya. Ketika pulang kampung, sang anak ingin memeluk dan mencium tangan kedua orangtuanya, sekaligus meminta maaf atas kesalahan dan dosa yang selama ini dilakukan kepada kedua orangtua. Dan yang tidak kalah pentingnya, seorang anak yang sedang pulang kampung itu kadang membawa sesuatu yang terbaik untuk kedua orangtuanya. Itullah makna dari mudik setiap lebaran.
Hanya saja, segala sesuatu itu harus diniati dengan baik, dan ibadah, sebagaimana pesan Rosulullah SAW. Ketika niatnya bersih semata-mata karena Allah SWT, maka setiap langkah kaki, bahkan setiap tetesan bensin akan menjadi nilai ibadah yang akan diganti oleh Allah SWT. Siapa yang suka membahagiakan kedua orangtuanya, maka akan memberinya kebahagiaan. Namun, jika belum bisa membahagiakan kedua orangtua, minimal tidak menyakiti dan menyulitkan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H