Mohon tunggu...
Abdul Adzim Irsad
Abdul Adzim Irsad Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar di Universitas Negeri Malang

Menulis itu menyenangkan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Itu Bukan Megawati

14 Februari 2015   21:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:11 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jokowi selalu menjadi menarik untuk diperbincangkan di mana-mana. Kelebihan dan  dan juga keruanganya sangat menarik untuk diperbincangkan dimana saja berada dan kapan saja.

Kalangan intelektual, akademisi, bahkan kalangan alit-pun ikut serta membincangkan Jokowi.  Tidak lupa, kalangan yang pernah kalah dalam pilpres 2014 juga ikut serta membincangkan putra Solo ini. Orang yang tidak suka akan merendahkan dengan kata-kata yang tidak pantas. Tetapi, Jokowi tidak ambil pusing, Gus Dur Bilang “gitu saja kok repot”.

Lebih menarik lagi, sebagian dari pendukung Kang Probowo masih merasa sakit hati atas kekalahan yang menyakitkan itu. Mereka masih saja membincangkan kekurangan-kekurangan Jokowi, seolah-olah Jokowi itu tidak pantas menjadi presiden Republik Indonesia. Sampai-sampai cara memakai Jas-pun jika diperbincangkan.

Dulu waktu Jokowi berpidato menggunakan bahasa Inggris, sebagian para pembenci mengatakan “bahasa Inggrisnya bikin malu-maluain bangsa Indonesia.” Kemudian saat Jokowi naik pesawat mengunjungi putranya di Singapura. Orang pada ngomong “pencitraan”.

Kemudian ketika Jokowi menolak para peminta Grasi terpidana mati. Orang yang tidak suka mengatakan:”bagaimana mungkin Jokowi menerapakan hukuman mati, sementara dunia mulai menghapus hukuman mati”. Menanggapi orang yang tidak setuju dengan hukuman mati Jokowi berdalih “sudah waktunya perang melawan Narkoba demi bangsa dan rakyat Indonesia”. Ini baru keren habis.

Ketiak ada yang meminta Grasi, Jokowi-pun menjawab dengan singkat:”tidak satupun yang meminta grasi, kecuali ditolak”. Ketegasan Jokowi-pun ada yang menilai sebagai bentuk “pencitraan”. Ada juga mengatakan “Jokowi tegas dalam masalah ini”.  MUI-pun merasa lega dengan putusan Jokowi seputar hukuman Bandar Narkotika, tidak melit dari masa suku dan bangsanya. Sebagian lagi ada yang bersikap masa bodoh, “emang gue pikirin”.

Ketika Jokowi berkunjung ke Malaysia dan Brunai Darussalam, Jokowi foto bersama dengan Raja Brunai, kebetulan kancing yang bawah dari jas yang kenakan Jokowi, tidak dikancingkan. Maka orang-orang yang tidak suka-pun mengatakan:”bikin “malu”. Saat ini Jokowi menjadi ISIS, yang artinya “Ini Salah Ini salah”. Padahal, dimaan-ama memang seperti itu. Tetapi, karena Jokowi itu wong deso, jadi selalu menjadi bahan ejekan. Dan yang paling menjijikkan, ternyata paling gemar mengejek itu “orang Indonesia sendiri yang pendidikannya tinggi”. Apakah ini yang namanya “Hasud Tingkat Tinggi “terhadap Jokowi.

Saat ini Jokowi dipusingkan dengan masalah KPK dan POLRI. Semua tahu, keduanya baik-baik saja, dan memiliki tugas yang sama, yaitu memberantas korupsi. Semua juga sepakat bahwa Jokowi itu paling demen dengan membrantasan korupsi, sampai-sampai untuk menentukan calon meneterinya, Jokowi meminta titah ketua KPK Abraham Samad. Sejak saat itulah, tokoh politik, pengusaha, pejabat, serta anggota DPR dan orang-orang yang ter-indikasi terlibat korupsi di beri stabelo “merah” ada juga yang “kuning” agar tidak menjadi pejabat negeri ini, karena menjadi masalah baru.

Entah lupa, atau  memang disengaja lupa, atau memang tersandra masa lalu, atau memang di minta oleh Ibu Megawati. Semua bisanya menduga-duga. Tiba-tiba,  Jokowi mengajukan Budi Gunawan kepada anggota DPR RI untuk menjadi Kapolri. Apa ini hanya mengukur atau mencoba-coba anggota DPR agar bekerja. Semua serba mungkin dalam dunia politik.

Padahal Jokowi itu mengerti bahwa  Budi Gunawan itu rapotnya merah. Konon Budi Gunawan itu ter-indikasi Rekening Gendut. Biasanya, kalau rapotnya merah, sulit untuk bisa menjadi pejabat tinggi, apalagi Kapolri. Wong akan menjadi kabinetnya Jokowi harus suci dari Korupsi, apalagi pemimpin tetinggi baret coklat.

Setelah di ajukan, tiba-tiba DPR setuju dan mau. Yang mengherankan, PKS yang sangat benci terhadap Jokowi tiba-tiba setuju dan tidak protes sama sekali. Ini sudah tidak sudah tidak lazim. Dalam dunia politik, tidak ada yang tidak mungkin, semua serba mungkin.

Tetapi, karena ini sudah masuk politik, maka semua biasa-biasa saja. Sebab, dalam dunia politik, tidak ada musuh yang abadi dan tidak ada teman yang hakiki. Semua pragamatis, yang penting saling meng-utungkan. Dalam bahasa pertanian disebut dengan “simbiosis mutualisme”. Sama sama enak dan sama-sama ber-untung. DPR, Ibu Mega, PDIP, Kapolri, Jokowi, Partai Politik, khususya Budi Gunawan sangat untung. Karena bagi Polisi, karir tertinggi adalah “Kapolri”. Tetapi, tidak mungkin sebuah keputusan itu akan melegakan semua fihak.Itu sangat mustahil.

Selangkah lagi, Jendral yang cerdas dan berkualitas itu, akan menjadi Kapolri. Semua anak buahnya akan memulaykan dan hormat, jika “Budi Gunawan” terlah mencapai derajat tertinggi dalam dunia kepolisian Republic Indoneosia. Tetapi, apa jadinya, dan bagaimana perasaan seorang Jenderal, jika tiba-tiba karirnya harus tumbang ditengah jalan karena rapot merah dari KPK? Sakitnya tuh di sini.

Semua tahun berbagai prestasi diperoleh oleh seorang Budi Gunawan. Seorang Jenderal itu wajib cerdas, sehat dan ganteng. Jika di sandingkan, antara Jokowi dan Budi Gunawan, mungkin kecerdasan Budi Gunawan masih lebih, dari pada kecerdasan Jokowi. Bahkan Budi Gunawan itu lebih ganteng juga. Pantaslah jika banyak wanita cantik tertarik kepadanya. Dalam dunia politik,  tidak cukup dengan modal cerdas, tetapi harus cerdik dan pandai berkelit.

Saat ini, Budi Gunawan menjadi bulan-bulan media, walaupun tidak sedikit yang masih belani (membela) Budi Gunawan karena Budi di anggap dalam posisi yang benar. Seandainya, Budi Gunawan menuruti nasehat Pratikno seperti yang pernah disampaikan” Alangkah baiknya Budi Gunawan Mundur”.

Barangkali masyarakat tidak semakin menyudutkan Polri, khususnya Budi Gunawan.  Kembali lagi, ini masalah politik, bukan adu kercerdasan, tetapi juga adu kecerdikan dan kelihaian.

Saat ini KPK dan Polri berhadap-hadapan, suara terpecah. Sebagian ada yang membela KPK, sebagian lagi membela Polri, sebagian lagi mengatakan “Save KPK dan Polri”. Keuda lembaga ini harus selamat, selamat dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Bagi PDIP yang cinta mati terhadap Megawati, mereka habis-habisan mendukung Budi Gunawan, karena itu sama dengan menjalankan titah seorang Ibu Megawati. Dengan kata lain” akan kualat” jika tidak patuh dengan Megawati.

Tidak heran, jika ada tokoh PDIP yang mati-matian belani Budi Gunawan dengan cara melemahkan KPK, yaitu melaporkan Abraham Samad dengan berbagai modus. Bahkan, ada sebuah gerakan ingin meruntuhkan kekuatan KPK. Dengan demikian, ketika KPK lemah, dan beberapa tokoh partai politik  yang benci terhadap KPK, seperti; PKS, yang kader terbaiknya terkena hukuman akan merasa senang.

Sangat wajar jika kemudian Fahri Hamzah mengatakan:” Jika keputusan Presiden Jokowi tetap bertahan pada rekomendasi pembatalan Budi sebagai kepala Polri, itu sama artinya Presiden mengabaikan hak dan kewajibannya sebagai individu terkuat di Indonesia. “Dia sama saja menampar mukanya sendiri,” kata Fahri saat ditemui di gedung DPR, Jakarta, Jumat (6/2. http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/15/02/06/njciaw-fahri-budi-gunawan-batal-dilantik-jokowi-menampar-muka-sendiri.

Perlu di ingat Jokowi is Jokowi, jokowi itu bukan Megawati dan juga bukan SBY, juga bukan Probowo. Tidak satupun orang yang mengkritik dirinya, kecuali di balas dengan senyuman yang khas. Jika Gus Dur mengatakan “gitu aja kok repot”. Sementara Jokowi akan mengataka “bukan urusan saya”. Walaupun Jokowi menagatakan demikan, ternyata Jokowi juga cerdik, dimana dia menemui Prabowo, Zulkufli Hasan, serta tokoh-tokoh yang selama ini tidak mengencam dan menjadi rivalnya.

Barangkali yang menari dari Jokowi itu ialah, dia tidak pernah marah, dan selalu memaafkan orang-orang yang menghina, melecehkan, mengkritik, bahkan ngolok-ngolok dirinya. Sebagai seorang presiden dia memiliki sifat pemaaf “afina Aninnas” serta “al-Kadimina Al-Ghoid” yang artinya menahan amarah. Semua Jokowi bisa membawa Indonesia lebih baik, dan khusnul khotimah dalam pemerintahannya selama 2 tahun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun