Para wartawan TV juga mewawancarai penjabat bupati Pegaf, Yusak Wabia. Sementara saya bersama sejumlah fotografer sibuk memotret para penari diatas rumah kaki seribu yang mengenakan pakaian tradisional. Setelah puas mengabadikan moment ini, saya berpindah ke sebuah lapangan berumput yang tak jauh dari pos tentara dan polisi di Anggii untuk menyaksikan pertandingan futsal.   Â
Setelah hari menjelang malam, kondisi udara kembali dicekam hawa kedinginan. Kali ini saya harus mencari tempat tumpangan lain agar bisa nyaman beristirahat untuk melewatkan malam kedua. Perut saya mulai keroncongan. Saya lalu mencari warung sederhana terdekat yang dimiliki oleh warga non Papua asal Jawa. Pemilik warung ini menghidangkan saya seporsi nasi kuning ditemani ayam kuah sebagai lauknya. Tidak ada sayur sebagai tambahan. Saya juga dibuatkan teh hangat untuk mengusir hawa dingin yang mulai merasuki tubuh. Hidangan ini saya santap dengan penuh syukur.  Â
Pemilik warung ini kelihatan ramah. Dia bersama istrinya mengajak saya berbincang-bincang sambil makan. Kedua pasutri yang sudah renta ini sempat menanyakan tujuan saya ke Anggi. Saya menjelaskan kalau saya seorang wartawan fotografer dari Jayapura yang datang untuk menyaksikan moment Festival Arfak yang pertama. Mereka memberitahu saya bahwa warung tempat usahanya sekarang merupakan bekas pos TNI AD yang disewa untuk dijadikan rumah tinggal, sekaligus sebagai tempat usaha warung nasi kuning. Bangunannya berbentuk rumah papan.
Dari mereka berdua dan beberapa pedagang non Papua yang saya temui sebelumnya, saya bisa ketahui bahwa Pemda Kabupaten Pegaf memberlakukan Perda yang melarang orang Arfak menjual tanahnya. Tanah hanya disewakan kepada para pendatang yang ingin mendirikan bangunan dan usaha. Setelah menyantap hidangan dan membayar ongkosnya, saya kemudian bertanya kepada pemilik warung mengenai tempat untuk menonton TV dan berita malam. Sekaligus tempat menumpang untuk melepaskan rasa kantuk yang makin berkecamuk.
Mereka menyarankan saya pergi ke Pos TNI AD yang berada hanya beberapa langkah kaki dari warung mereka. Saya segera bergegas menuju pos TNI yang dimaksud. Disitu ada beberapa orang tentara bersama komandan mereka sedang duduk berjaga-jaga sambil menonton TV. Saya mengucapkan selamat malam, seraya meminta kesediaan mereka untuk mengijinkan saya menumpang nonton. Permintaan saya direstui. Tapi itu setelah mereka mendengar jawaban saya yang menjelaskan pertanyaan mereka tentang profesi dan tujuan saya ke Anggi.
Kami sempat terlibat diskusi ringan yang menarik tentang banyak hal. Termasuk mengenai penyelenggaraan Festival Arfak. Seorang prajurit sempat menawarkan membuatkan kopi panas untuk menolak rasa kantuk dan kedinginan yang sedang menyelimuti tubuh saya. Setelah kopi dibuatkan, kami melanjutkan diskusi hingga hampir tengah malam. Setelah itu saya diijinkan bermalam di pos mereka dengan menempati kamar tidur para prajurit.
Sebuah kasur yang masih baru pun menjadi landasan saya merebahkan tubuh dari rasa kantuk yang kian menyiksa malam itu. Hawa kedinginan yang dihempaskan angin Pegunungan Arfak juga terasa menggetarkan seluruh tubuh saya di malam kedua saya berada di Anggi. Hawa dingin malam di tempat ini memang menyiksa fisik dan mental. Meski tempat tidur saya nyaman karena kasur yang empuk, namun saya tersiksa oleh kedinginan.
Saya akhirnya dapat melewatkan malam kedua yang dingin di pos TNI AD di Anggi. Di tengah keramahan dan kebaikan hati para prajurit TNI. Esok paginya saya bergegas bangun, mencuci muka lalu  menyiapkan diri. Saya mengendong tas ransel kemudian berpamintan dan menyampaikan terima kasih kepada para prajurit TNI atas kebaikan mereka.
Saya kemudian menikmati sarapan pagi yang disediakan di dapur umum. Lalu bergegas menuju arena start perlombaan sepeda gunung. Di arena start, para peserta yang bersemangat sudah bersiap-siap dengan sepeda mereka masing-masing. Jumlah mereka ada puluhan. Diantara mereka ada peserta paling termuda dan tertua. Peserta termuda usianya 9 tahun dan tertua berusia 70 tahun. Perlombaan ini dibuka penjabat bupati Pegaf,Yusak Wabia dengan menembakan pistol ke udara sebanyak satu kali.
Kompetisi sepeda gunung ini melewati jalur tracking di sepanjang perbukitan sekitar danau Anggi yang sebelumnya digunakan sebagai arena latihan bagi para crosser. Saya sempat mengabadikan moment start perlombaan ini, namun tidak memantaunya hingga usai. Saya juga tidak sempat menyaksikan perlombaan motor cross yang diselenggarakan di hari penutupan Arfa Festival, Minggu 15 November 2015. Maupun tidak menyaksikan perayaan hari ulang tahun Kabupaten Pegaf yang jatuh pada Senin 16 November 2015.Â
Sebab setelah mengikuti pembukaan lomba sepeda gunung, saya segera bergerak ke jalan utama di depan Kantor Bupati Pegaf untuk mencari kendaraan pulang ke Manokwari. Nasib saya masih beruntung. Seorang ibu Papua yang saya temui di arena start perlombaan sepeda gunung menawarkan saya menumpang mobil yang akan membawa mereka ke Manokwari.