Dalam perjalanan ini kami sesekali berpapasan dengan mobil lain yang mengangkut penumpang beserta muatan dari Anggi atau kampung-kampung sekitar. “Hari ini dan mungkin beberapa hari ke depan pasti banyak mobil yang akan naik turun ke Anggi karena ada acara festival dan hari ulang tahun Kabupaten Pegunungan Arfak,” kata seorang penumpang menjelaskan. “Kalau di hari biasa setahu saya, mobil tidak ramai seperti ini,” sambungnya.
Di perjalanan kami melewati beberapa kendaraan berat yang bekerja menggusur tanah atau merapikan jalan dan punggung gunung sehabis longsor. Sebab jalan yang kami lalui menerobos celah gunung, lereng, tebing dan lembah yang di bawahnya terbentang jurang puluhan meter yang dialiri sungai berair deras. Kami juga menerobos sungai-sungai kecil yang mengalir membelah jalan.
Hujan deras sempat mengguyur kawasan ini beberapa kali lalu berhenti tiba-tiba. Cuaca di kawasan Pegunungan Arfak yang berketinggian antara 200-2.940 meter diatas permukaan laut (dpl) memang cepat berubah. Pada daerah berketinggian diatas 1000 meter, umumnya bertemperatur udara dingin. Bahkan sangat dingin hingga menusuk tulang di malam hari pada wilayah berketinggian 2000 meter.
Selama perjalanan kami telah melewati rangkaian perkampungan tradisional yang dihuni warga suku Arfak. Pada perkampungan ini masih berdiri sejumlah rumah tradisional Kaki Seribu yang terbuat dari bahan alami seperti; kayu, rotan, kulit kayu dan ilalang. Disebut rumah kaki seribu karena disokong oleh kayu-kayu penopang yang jumlahnya banyak. Karena bentuknya yang unik, rumah tradisional ini punya daya tarik tersendri bagi wisatawan.
Beberapa rumah tradisional kaki seribu sudah dimodifikasi menjadi rumah semi permanen. Warga juga membangun rumah-rumah permanen untuk ditinggali. Perkampungan orang Arfak didirikan tak jauh dari kebun-kebun mereka yang ditanami aneka sayuran. Ada yang sedang bekerja di kebun saat kami melintas. Para perempuan Arfak memanggul sayuran yang dibungkus dengan karung lalu dijual di pinggir jalan menanti calon pembeli yang melintas. Hasil panen sayur dalam jumlah besar biasanya dijual ke pasar di Manokwari.
Warga yang berdiri di pinggir jalan meneriakan kata “cem, cem, cem” sebagai ucapan selamat kepada kendaraan yang melewati kampung mereka. Pada beberapa perkampungan yang kami lewati, warga memasang rangkaian umbul-umbul dan spanduk yang berisi ucapan selamat kepada Gubernur Papua Barat yang membuka Festival Arfak yang pertama di Anggi. Beberapa spanduk juga tertulis dalam bahasa daerah setempat.
Mobil kami terus melaju hingga berhenti di satu perbukitan yang di sisinya terlihat panorama yang mengagungkan. Ada lembah dan jurang sedalam ratusan meter. Di tempat ini ada beberapa mobil sudah lebih dahulu berhenti untuk beristirahat sejenak. Mobil yang mengangkut serombongan wartawan TV swasta nasional dari Jakarta juga berhenti untuk mengambil gambar pemandangan dari ketinggian. Mereka akan meliput event Festival Arfak di Anggi.
Sopir kami lalu memerintahkan semua penumpang turun untuk membuang hajat sekaligus mengisi perut kami yang keroncongan. Setelah memotret pemandangan beberapa kali, saya kemudian diberi sebungkus nasi oleh seorang penumpang perempuan untuk disantap. Nasi bungkus itu saya santap dengan lahapnya hingga kenyang. Setelah puas karena kekenyangan, kami melanjutkan perjalanan yang berlika-liku ini dengan diselimuti kabut tebal.
Setelah menerobos lereng-lereng Pegunungan Arfak yang berat, kami akhirnya tiba di Anggi dengan perasaan lega. Meski saya sempat menggerutu karena jaket tebal yang saya kenakan basah terkena hujan di perjalanan. Mobil kami kemudian berhenti di salah satu barak perumahan yang sudah selesai dibangun untuk para pegawai. Waktu di handphone saya menunjukan pukul 17.50 sore. Seluruh penumpang turun dan mengevakuasi barang bawaan ke beberapa kamar yang sudah disediakan. Ketika kami tiba, gerimis dan kabut masih menyelimuti lembah Anggi hingga menjelang malam.
***