Sengatan terik matahari terasa membakar kulit ketika kami para penumpang berjalan menuju terminal kedatangan. Saya meraih hand phone Samsung di saku celana. Waktu menunjukan pukul 11.30 siang. Seketika saya sadar kalau saya sudah terlambat. Event yang saya tuju: ‘Arfak Festival Ke I’ sudah dibuka Gubernur Papua Barat, Abraham Oktovianus Atururi di Anggi, ibukota Kabupaten Pegunungan Arfak. Event pariwisata berbasis budaya dan wisata alam itu dijadwalkan berlangsung 12-15 November 2015.
Ketika mendekati pintu masuk terminal kedatangan, dua tulisan berbeda dalam bahasa Hatam-Arfak: ‘Acem Akwei’ dan ‘Acem Ambut’ yang berarti ‘Selamat Datang’ dan ‘Selamat Jalan’ menyambut kami. Tulisan itu terpampang dengan jelas. Setelah berada di dalam terminal bandara, hand phone saya beberapa kali berbunyi. Namun tidak sempat terjawab karena terhalang suara keramaian.
Tak lama sebait pesan singkat muncul di hand phone saya. Pesan itu berasal dari seorang teman lama yang sudah menunggu bersama rombongan yang akan segera bertolak menuju Anggi. Isi pesan singkat itu meminta saya segera bergegegas ke rumahnya sebelum terlambat. Saya lalu mempercepat langkah berjalan keluar terminal. Memanggil seorang tukang ojek yang sedang bermalas-malasan menunggu penumpang di depan pintu masuk terminal bandara.
Saya mengarahkan ojek menuju sebuah rumah yang jaraknya sekitar 1 kilometer dari bandara. Setelah tiba sebuah mobil berwarna hitam sudah terparkir menunggu bersama rombongan yang tidak sabar berangkat. Mobil ini diperintahkan menunggu hingga saya tiba. Dari wajah-wajah mereka yang cemberut, bisa ditebak kalau mereka cukup lama menunggu saya yang akan menumpangi kendaraan mereka.
***
Sementara saya direstui duduk berdesak-desakan bersama penumpang lain dan barang bawaan yang ditumpuk di bagian belakang mobil yang terbuka. Di samping saya duduk seorang perempuan non Papua berbadan sedikit kurus. Ia memilih duduk di belakang karena ingin menghirup udara segar selama perjalanan yang akan memakan jarak berkilo-kilo. Perjalanan kami akan melewati medan jalan yang rumit sehingga bisa membuat penumpang mual dan muntah.
Teman saya memberitahu bahwa hampir seluruh penumpang merupakan rekan kerjanya di Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Papua Barat. Mereka akan berpartisipasi mewakili kantornya dalam rangkaian kegiatan Festival Arfak pertama yang di helat di Anggi. Sebelum mobil bertolak, teman saya meminta maaf karena ia tidak bisa ikut bersama kami. Sebab ia harus mempersiapkan diri untuk sebuah kegiatan di Makassar tiga hari kemudian.
Gantinya, istri dan anaknya ikut bersama kami. Dia memberi beberapa botol air aqua dan makanan ringan sebagai bekal saya selama perjalanan. “Nanti ko kembali dari Anggi baru tong ketemu cerita-cerita, soalnya su lama tra ketemu,” kata Frans, begitu nama teman saya dengan dialek Melayu-Papua. “Selamat jalan, hati-hati di perjalanan dan jangan lupa foto pemandangan yang banyak,” sambungnya sambil tersenyum. Saya membalasnya dengan menyampaikan terima kasih.
Perkenalan dengan Frans terjadi di Jayapura tahun 2014. Sewaktu kami mengikuti sebuah program kursus bahasa Inggris yang di dukung Pemerintah Australia dan Pemerintah Provinsi Papua-Papua Barat. Semasa mengikuti program itu selama tiga setengah bulan, saya dan Frans ditentukan tinggal sekamar bersama seorang teman dari Merauke. Dari sinilah kami menjalin keakraban sebagai teman sekaligus saudara. Saya beruntung karena Frans telah menfasilitasi kendaraan untuk saya tumpangi ke Anggi.
Sopir menghidupkan mesin mobil. Saya sempat melambaikan tangan kepada Frans. Kami bergerak menyusuri jalan mulus beraspal yang lebar di sepanjang jalan baru Rendani-Sowi menuju arah selatan Manokwari. Waktu menunjukan pukul satu siang saat kami meluncur. Saya sangat bersemangat siang itu, begitu juga penumpang lain yang tampak jelas dari wajah mereka.