Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Motivator

15 Desember 2023   06:34 Diperbarui: 15 Desember 2023   06:49 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mai, gratis!" Ayu menunjukkan layar ponselnya.

"Share aja, kapan-kapan kubaca," balas Mai tanpa menoleh.

"Acaranya besok. Kamu kan suka yang gratis!"

Akhirnya Mai menoleh, pasang tampang tidak senang. "Aslinya kamu yang pengen dateng kan? Butuh teman."

"Haha, pinter! Daftar yuk!"

Mai setuju. Sambil berdiri dari duduknya, ia menginstruksikan Ayu agar mengisi form yang disediakan panitia lewat tautan di medsos. Keduanya lalu meninggalkan pinggir Danau Sipin, tempat orang-orang mengisi waktu luang memandangi air luas yang tenang. Sayangnya banyak sampah.

Ketika Mai dan Ayu tiba, pendopo sudah ramai. Kabarnya sesi kedua dari kegiatan motivasi ini akan diadakan di hotel. Mai sudah bisa meraba ke mana arah ilmu gratisan ini. Awalnya dibuat cuma-cuma di tempat yang mampu menampung banyak orang, dengan fasilitas ala kadarnya. Nantinya peserta akan diarahkan ke sesi berbayar.

Mai sudah khatam. Sejak lajang ia kerap mendapat tawaran pelatihan semacam ini. Apalagi ketika kuliah, masa-masa menjadi kolektor sertifikat. Tapi demi Ayu, agar tak penasaran, Mai rela menemani.

Pendopo Hutan Kota makin ramai. Sambil menunggu acara dimulai, Mai membuka ponselnya, iseng-iseng membaca kembali informasi kegiatan yang sebentar lagi ia ikuti. Ketika ponselnya berhasil menggapai sinyal internet, Mai tercekat.

"Serius?" bisiknya pada Ayu yang malah kaget. "Kita ke acara motivasi nikah?"

"Lah, kan dari kemarin kukasih tahu!"

"Kamu gak ngasih tahu, cuma ngasih liat hape!"

"Salah sendiri gak baca!" Ayu membela diri. "Literasimu payah! Dari jalan masuk tadi juga sudah ada spanduk dengan tulisan 'jomlo berikhtiar'."

"Aku kan nyetir, mana boleh baca-baca."

"Nggak usah ngeles. Itu di depan, backdrop-nya segede gaban. Mau alasan apa lagi?"

"Pulang yuk ah!" Mai membereskan barang-barangnya yang berserakan di lantai.

"Enak aja! Sudah mau mulai nih."

"Kita ketuaan, Yu!" suara Mai agak meninggi.

Tak terhitung berapa pasang mata melihat pada mereka. Membuat Mai pelan-pelan duduk kembali.

"Justru itu," Ayu berbisik. "Sudah setua ini aku belum nikah. Ini bagian dari usaha kita untuk dapat jodoh. Tuh liat di sana, kali aja ada yang cocok!" dagunya naik sedikit, mengarahkan mata Mai ke bagian peserta laki-laki.

"Kita? Aku gak mau lagi!"

"Iya, aku. Kamu sudah pernah ngerasain. Aku belum. Dan siapa tahu dapat yang bisa diajak samawa di sini."

"Nggak kayak aku." Mai melengos.

"Betul," jawab Ayu singkat, yang segera dibalas pukulan kecil Mai ke lengannya.

  

Akhirnya acara dimulai. Pembukaan berlangsung dengan khidmat. Pembicara yang menurut tebakan Mai menjadi pemateri tunggal, duduk paling tengah bersama seorang anak kecil yang bisa dipastikan adalah anaknya.

Pembawa acara memperkenalkan sang motivator pada peserta, dari nama, pendidikan, hingga segudang pengalaman memberi motivasi di berbagai belahan Indonesia.

"Kita sambut ... Ustaz Gani!"

"Hah, kok jadi ustaz?" Mai tak bisa menutupi kekagetannya.

"Kan dia pakai peci, gimana sih!" Ayu memberi isyarat agar Mai tenang.

"Apa urusannya peci dengan ilmu agama?"

"Udah deh, Maai. Simak aja! Pleaseee."

"Di pendidikannya tadi gak ada portofolio keustazan, tuh baca selawatnya juga seadanya, gak fasih kayak yang di kajian-kajian."

"Halah, ngaji di Youtube aja sok-sok nilai lu!"

Mai mengalah. Walau hatinya tak rela, tapi apa yang dikatakan Ayu ada benarnya. Janda tanpa anak itu akhirnya kembali mengeluarkan ponsel, sengaja mengalihkan perhatiannya dari hiruk pikuk kegiatan motivasi menikah, yang pesertanya lebih tertarik dengan biro jodoh---yang menurut tebakan Mai, ada di sesi kedua. Alias berbayar.

Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepala Mai. Ia pura-pura mendapat panggilan telepon. Dengan dalih agar bisa mendengar dengan lebih baik, Mai keluar dari pendopo sembari memberi isyarat 'permisi' yang sopan pada panitia terdekat.

Mai menuju tempat yang hening, padahal tak seorang pun di Bumi yang meneleponnya. Terlindung di balik sebuah pohon besar, Mai menghela napas lega.

"Mama bilang apa? Berak di celana lagi kan! Dasar anak bodoh, sama kayak bapakmu yang sok-sok bijak di sana itu."

Glek. Ada orang lain di sekitar situ. Mai menahan napas. Ingin sembunyi, tapi keberadaannya keburu ketahuan. Pelan-pelan Mai kembali ke pendopo. Rasa kesal dan penasaran tumpang tindih di kepalanya.

Dalam perjalanannya, Mai sempat melirik seorang ibu yang tengah menarik anaknya, sama sekali tanpa kelembutan.

Motivasi masih berjalan, diselingi permainan yang Mai ikuti dengan ogah-ogahan. Pada jeda permainan itulah, Mai kembali dapat melihat pada ibu yang tadi menarik anaknya. Sang motivator mendekat pada mereka. Debar di dada Mai seolah ingin menyetop semua gerak, agar kepalanya mampu fokus menganalisis.

Keluarga kecil itu masuk ke saung panitia. Cukup lama. Ketika keluar, si anak tampak lebih ceria. Ia digendong lagi oleh ayahnya. Sementara perempuan yang tadi menariknya, tengah memegangi pipi kiri.

Tapi jarak membuat Mai tak mampu melihat bercak merah di sudut bibirnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun