Pernah terjadi, dua anakku tak mau keluar rumah berhari-hari bahkan lebih dari sepekan. Aku yang lebih suka melihat mereka berlari di lapangan daripada bermain gawai, jelas merasa heran. Ada yang salah?
Tak perlu interogasi mendalam, karena dasarnya anak-anak memang tukang cerita. Mereka akhirnya curhat bahwa beberapa hari lalu kerap dirisak oleh teman-temannya atas hal apa saja. Misalnya ketika si adek naik sepeda, mereka beramai-ramai akan menyoraki bahwa sepedanya jelek, pendek, dll.
Sekadar jilbab terkena coretan pena saja jadi bahan bully, pokoknya apa pun diteriaki beramai-ramai. Jiwa psiko-ku sempat muncul, kusarankan mereka bermain tablet di depan rumah. Ketika teman-temannya mendekat, aku tebak akan begitu kejadiannya, mereka segera masuk. Biar nyesek!
Si adek kurang cukup mentalnya untuk berbuat jahat. Si kakak mau, tapi endingnya kurang cocok. Karena ia keburu masuk sambil tertawa-tawa sebelum berhasil membalaskan sakit hatinya.
"Dak tahan Kakak, Mi. Masa adeknya si P bilang, 'Huu, laptopnyo kecik nian!'."
Antara sebal karena kesalku tak terbalas, tapi bersyukur karena anakku tak terlalu fokus untuk menyakiti hati orang lain, akhirnya aku ikut tertawa. Padahal anak yang disebut si kakak, jauh lebih kecil postur dan usianya.Â
Kecil-kecil tukang bully. Sementara anakku kayak gak punya ide untuk membalas. Jengkel tapi ... entahlah. Bingung aku!
Sudah lama aku tak berkonsultasi tentang dunia anak pada psikolog maupun teman-teman yang kerap berurusan dengan dunia parenting. Jadi kukenang-kenang saja masa kecil dulu, bagaimana aku bisa keluar dari perundungan tanpa berbalik merundung orang lain.
Ajaran Moral Orangtua Membuatku Tak Berdaya
Sejak kecil, orang tua, terutama Mamak mengajariku agar berbuat baik. Saking baiknya, tak perlu membalas jika disakiti. Pergi saja, kira-kira begitu. Kakak laki-laki tertua pun mengajari demikian. Jika dihina, tak usah membalas. Pulang saja, lapor ke dia.