Kalau kukatakan obat penyakit mental itu yang pertama adalah agama, banyak orang tidak setuju. Padahal bukti sudah banyak, bahkan salah seorang psikiater di kotaku pernah pula menyampaikan itu. Hebatnya lagi, kami bukan pemeluk agama yang sama.
Dan lagi, tak ada salahnya kan lebih dulu mendatangi Allah sebelum ke psikiater? Gratis, dekat, mudah, bisa kapan saja. Tapi begitulah, banyak yang enggan mempertemukan iman dengan ilmu, agama dan medis. Padahal keduanya sejalan.
Beberapa penyakit, termasuk penyakit mental, berawal dari stres. Kita menganggap solusi stres adalah curhat pada sesama. Kuberi contoh ya, betapa kelirunya pendapat ini.
Dibantu Tidak, Direndahkan Iya
Sebutlah namanya Similikiti, ia baru saja melahirkan seorang bayi dari pernikahannya yang baru berjalan sekira setahun. Suami Simi bekerja serabutan, ia sendiri harus cuti dari pekerjaannya di sebuah perusahaan kecil karena bersalin.
Kondisi ekonomi yang tak menentu membuat Simi tertekan. Jauh dari keluarga, tinggal di kontrakan yang nyaris tak punya tetangga, Simi mengaku berada di ambang putus asa waktu itu. Ia kemudian teringat pada teman lamanya di sebuah komunitas.
Malam ketika bayinya terlelap dan suami tidak di rumah, Simi menelepon teman yang ia maksud. Dalam curhatnya, deraslah air mata mengalir. Tentang tagihan listrik bulan lalu yang belum dibayar, kontrakan yang belum lunas, beras, dan berbagai kebutuhan yang tak mampu dipenuhi suaminya.
Si teman menyimak, mendengarkan dengan tenang. Lalu menyuruhnya bersabar. Simi merasa lega setelah melepaskan unek-unek, sekaligus penuh harap akan ada bantuan datang. Pikirnya, teman yang secara ekonomi lebih baik akan menanyakan nomor rekening.
Sampai perbincangan usai, tak muncul pertanyaan itu. Mungkin besok diantar cash dalam amplop, ia masih berharap. Meski jelas-jelas temannya hanya berkata sabar dan tenang, tapi ia punya prasangka yang sangat baik. Mengingat masa lajang mereka yang dilalui bersama.
Sampai bayi yang lelap malam itu sudah mampu berlari, bantuan dari teman Simi tak pernah datang. Justru ketika Simi dan suaminya bertemu dengan teman tempatnya curhat, nampak jelas pandangan merendahkan di mata si teman.