Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hoaks, Penyangkalan, dan Drama Covid-19 di Rumahku

2 Agustus 2021   07:00 Diperbarui: 2 Agustus 2021   12:50 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Martha Dominguez de Gouveia on Unsplash

Malam, 4 Juli 2021. Mbahnya anak-anak terbatuk-batuk di kamarnya. Gak perlu berpikir lama, aku langsung tau dari mana Mamak mendapatkan batuknya. Dua hari sebelum itu, salah satu kakak laki-lakiku menemui ibunya. Mereka ngobrol santai, tapi kulihat si kakak agak terbatuk, dan sesekali membuka maskernya.

Saat pandemi begini, batuk dan demam adalah momok. Aku sungguh menyayangkan kenapa si kakak bisa begitu abai. Ia sama sekali tak menyangka bahwa saat itu dirinya telah mengantar virus pada satu orang tua kami yang tersisa.

Pekan Pertama

Malam itu juga kukabari saudara-saudara, tak lupa ngomelin si pembawa virus. Tapi si tersangka bersikeras bahwa ia tidak sedang sakit. Cuma batuk sedikit, sebelumnya demam tapi sudah sembuh. Dan ia juga sudah berobat ke bidan tetangga, begitu akunya.

Paginya Mamak berjemur, minum vitamin ini itu, dari yang herbal sampai resep apotek. Beliau beraktivitas seperti biasa. Aku yang berfirasat berdasarkan banyak referensi, mulai jaga-jaga. Anak-anak kuingatkan agar tidak masuk kamar mbahnya kecuali untuk hal yang sangat penting.

Menjalankan prokes sambil menjaga hati orang tua itu sulit loh! Aku nggak tega untuk minta beliau mengenakan masker. Kuingat-ingat barang apa yang beliau sentuh, mencuci segera perangkat itu. Melayani beliau di kamar sambil menjaga jarak, tahan napas (karena sungkan mengenakan masker), dan bolak-balik cuci tangan.

Meski mengaku baik-baik saja, aku tau batuk Mamak sebenarnya semakin berat. Beliau demam tapi tak mengaku. Badannya mulai sakit-sakit tapi menyalahkan pengapuran yang sejak lama dialami. Si pembawa virus tidak demam, sedikit batuk, dan mulai anosmia. Tapi masih kekeuh kalau ia bukan sedang terjangkit covid-19.

Masih dalam pekan pertama, Mamak dilarikan ke IGD karena begitu lemas dan merasa kepalanya seperti melayang-layang. Tapi di sana diagnosis dokter hanya kurang tidur. Sebab suhu tubuh, tensi, jantung, dll, normal. Batuk Mamak waktu itu masih samar, seperti awal batuk berdahak.

Setelah diberi obat, observasi sebentar, Mamak disilakan pulang dengan “oleh-oleh” obat vertigo, paracetamol, dan obat batuk. Diingatkan untuk tidak menghentikan obat hipertensi yang harus beliau konsumsi sepanjang usia.

Baca juga: Kisah Corona Sebelum Sekarang

Pekan Kedua

Memasuki pekan kedua, Mamak mulai tak sanggup banyak bergerak. Sakit kepala tidak bisa lagi menyalahkan hipertensi, sebab tensinya normal. Badannya terasa hangat, tanda demam. Batuk semakin menjadi-jadi, walaupun sudah minum obat batuk dibantu ramuan herbal yang biasa beliau konsumsi.

Alih-alih berjemur, jalan ke kamar mandi pun Mamak nyaris tak mampu. Lidah mulai terasa pahit, tapi penciuman normal. Beliau tidak sesak, tapi batuknya terdengar berat. Diajak ke rumah sakit menolak, sepertinya khawatir “dicovidkan”.

12 Juli, hujan deras melanda. Di mana-mana banjir. Rumah kakak yang “cuma batuk sedikit” sebagiannya roboh diterjang banjir. Kakak yang lain datang membantu, dan akhirnya menyadari, bahwa sebagian besar penghuni rumah itu tengah demam.

Di saat yang sama, Mamak menggigil hebat. Tengah malam kami melarikan beliau ke IGD. AC mobil dimatikan, tapi beliau masih kedinginan di balik jaket parasut, sarung tangan, dan kaus kaki. Di RS pertama, kami ditolak karena IGD penuh. Pindah ke RS berikutnya, diterima di UGD yang awalnya cukup ramai.

Di RS ini, yang pertama dicek adalah saturasi oksigen. 94, di bawah normal. Dokter melakukan swab rapid, hasilnya sudah bisa kutebak; positif! Malam itu kami kakak beradik yang tinggal satu kota tidak tidur. Sibuk melengkapi administrasi, mengupayakan Mamak mendapat ruang isolasi di rumah sakit.

Ketika perawat menyodorkan surat perjanjian untuk ditandatangani, di situlah aku berusaha kuat menahan air mata. Pada poin akhir disebutkan, jika pasien tidak tertolong,maka keluarga memberi wewenang pihak RS untuk memakamkan jenazah sesuai prosedur covid, meski hasil swab PCR belum keluar.

“Mamak itu lansia komorbid,” kataku di hadapan keponakan dan kakak yang ikut mengantar ke UGD, sambil menahan deru di dada.

“Tanda tanganilah! Mamak punyo semangat bagus. Insyaallah sembuh,” kata kakakku, menguatkan hatiku dan hatinya sendiri.

Di Kamar Isolasi

Idealnya pasien covid sendirian di ruang isolasi. Tapi karena Mamak merupakan lansia, beliau butuh didampingi. Setelah berembuk, akhirnya salah satu kakak perempuanku yang menjaga Mamak selama lebih kurang 10 hari di RS.

Biasanya di grup keluarga, aku adalah peng-counter berbagai hoaks. Ada joke yang biasa terlontar di antara aku dan teman-teman; orang-orang tua sebaiknya gak usah punya WA, karena apa aja mereka bagi!

Kakak-kakak berusia 40-50an. Belakangan jarang meneruskan pesan dari grup lain karena kerap kubantah. Tapi sepertinya sebagian dari mereka masih menyimpan berbagai teori konspirasi di kepalanya. Jadi ketika hari-hari awal di RS, oleh kakak yang menjaga, Mamak dilarang mengonsumsi obat yang diberikan perawat.

Bahkan ketika hasil PCR keluar, positif, si kakak menganggap ibunya dicovidkan. Aku pun berang! Pakailah logika, rumah sakit di mana-mana penuh. Untuk apa nakes merekayasa data! Syukurnya Mamak cukup percaya pada bungsunya ini. Ia minta Kakak mengambil gambar obat dan mengirimkan padaku, bertanya itu obat apa.

Kadang memang tak masuk akal. Aku cuma penulis, tapi Mamak tanya obat padaku, padahal nakes di depan mata. Ya aku tanya lagi temanku yang dokter. Alhamdulillah aku diberi rezeki punya banyak teman dokter. Jadi bergantian mereka kutanya-tanya, biar gak bosan. Konsul gratis kok sering!

Baca juga: Tradisi Unik di Dunia, dari Mencium Semua Orang Sampai Tes Kewarasan

Drama Keluar RS

Tanggal 20 Juli, Alhamdulillah keadaan Mamak sudah jauh membaik. Dokter minta isoman di rumah saja. Karena hasil swab terakhir masih positif, jadi butuh izin dari Lurah di mana Mamak akan isoman.

“Kalau Lurah gak kasih izin?” tanyaku pada perawat.

“Berarti pasien harus melanjutkan isolasi di rumah sakit,” jawabnya.

“Kenapa gak terus aja sampai negatif? Kenapa harus pulang?”

“Karena pasien minta pulang.”

Ah entahlah, kata Kakak dokter nyuruh pulang. Kata perawat pasien minta pulang. “Kira-kira kapan swab lagi dan kapan hasilnya keluar?”

“PCR gak bisa ditebak, Bu. Kemungkinan tiga hari baru hasilnya didapat. Kalau masih positif, jarak beberapa hari baru swab lagi. Kira-kira perpanjang seminggu lagi, baru bisa pulang.”

Kupikir, kalau memang Mamak yang minta pulang, bisa stres beliau jika ditunda hingga sepekan. Akhirnya hari itu aku keliling mencari Lurah yang bersedia membubuhkan tanda tangan pada surat yang kubawa dari RS.

Aku dan kakak-kakak berada di kelurahan yang berbeda. Niat kami agak buruk memang, yang penting dapat tanda tangan, nantinya terserah Mamak mau pulang ke rumah yang mana. Di kantor lurah alamatku, pegawainya menolak dengan berbagai alasan. Salah satunya, data Mamak harus masuk dulu ke KK-ku.

Wajar kan kalau warganya ngawur? Perangkat pemerintah juga ngawur. Dulu aku ubah KK karena tambah anak saja butuh tiga bulan. Dia suruh Mamakku nunggu tiga bulan baru pulang! Pengin ngomong kotor, malu sama jilbab.

Akhirnya dapat tanda tangan di kelurahan kakakku yang lain. Jangan tanya berapa jumlah kakakku, banyak! Dan malamnya Mamak bisa dijemput pulang meski masih positif. Insyaallah noninfeksius, alias tidak menularkan.

Karena siangnya petugas kelurahan berpesan agar pasien dilaporkan ke puskesmas, muncul masalah baru. Mamak memilih pulang ke rumahku, puskesmas terdekat tentu saja berada di kelurahan tempatku berdomisili. Sementara menurut temanku yang juga positif covid, jika melapor ke puskesmas, pihak puskemas akan mengabari RT setempat. Lalu RT akan melapor ke Lurah. Ketahuan dong!

Semalaman aku dan kakak rumah terdekat berdiskusi. Lapor ke puskesmas atau tidak? Sementara kakakku yang kemarin menemani Mamak, ternyata hasil swabnya positif, tapi ia memilih tidak lapor. Diam-diam isoman di rumah saja, khawatir stigma masyarakat.

Sampai pagi belum diputuskan, apakah Mamak akan dilaporkan ke puskesmas atau tidak. Kondisi Mamak terlihat baik, tapi masih ada batuk. Makin membingungkan. Sampai kemudian, sebelum tengah hari, satu file pdf dikirim kakak yang isoman.

Hasil swab terakhir; Mamak negatif. Alhamdulillah, aku lega. Tak jadi beban karena tak perlu melapor ke puskesmas. Kemudian kakak yang semalam ikut menjemput Mamak di RS menelepon.

“Gemblung! Sudah susah-susah cari tanda tangan, bingung ini bingung itu. Dak taunyo hasil keluar dak sampe sehari!” kemudian kami ngakak bareng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun