Karena orangtuanya begitu, otomatis anak-anaknya ikut. Lagian gimana mau tidur kalau mak bapak saban pagi debat, atau kelotakan di dapur maupun sapu menyapu di luar. Daripada jadi batu atau ikan pari, terpaksalah kami ikut melek dan beraktivitas.
Setelah anak-anak tumbuh dewasa, dan masing-masing sempat membawa pasangannya ke rumah, terjadi sedikit perubahan. Para menantu pada bulan Ramadan biasanya tidur setelah salat Subuh. Orangtua tak enak hati membuat kegaduhan, jadi mereka beraktivitas pelan-pelan.
Beberapa anak mengambil keuntungan ikut tidur, tapi gagal. Ketika bangun, rasanya pusing bahkan tak jarang mual. Kapok tidur setelah Subuh! Lebih enak tidur menjelang atau setelah Zuhur.
Sampai saat ini, kebiasaan yang kupaksakan disebut tradisi itu, masih dijalani. Bukan sengaja dilestarikan, namun kebiasaan itu yang memang sulit hilang. Terbukti di 10 hari kedua ini, menu sahur makin ala kadarnya. Tapi karena sudah terbiasa bangun, sahur tetap bisa dijalani tanpa melihat menu. Yang penting siang nanti gak kelaparan.
Setelah salat Subuh, anak-anak yang sekolah masih sempat tidur sebentar. Aku yang sebenarnya pengin ikut tidur, masih terhalang urusan jemuran. Tapi itu bagus! Setelah semua beres, tidur di waktu Duha jauh lebih nikmat dan lebih sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H