Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Pengalaman Hidup bersama Malaria

25 April 2021   05:00 Diperbarui: 25 April 2021   08:05 1020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Christine Sandu on Unsplash

Di Hari Malaria Sedunia ini, aku mau cerita pengalamanku terkena malaria saat masih duduk di kelas 2 SMA. Kalau malas pasang obat nyamuk, aku harus mengingat ini karena tak ingin keluarga merasakan juga. Kelewatan sakitnya!

Tidak Sekolah Sampai 9 Hari

Masih remaja aku sudah tahu, kalau sedang susah, teman-temanmu mendadak jadi sedikit! Selama sembilan hari aku absen sekolah karena sakit, yang menjenguk hanya dua orang. Teman sekelas yang tak masuk hitungan dan teman satu sekolah yang selama tiga tahun tak pernah sekelas.

Tak ada teman basket yang datang, teman paskibra, bahkan teman satu gank pun seperti tak ingat aku pernah ada di antara mereka. Gimana gak tambah tersiksa tuh!

Bagaimana rasa sakitnya, sudah kutulis di blog, malas ulang-ulang. Btw kalau aku membaca pengalaman mereka yang terkena Covid-19 dengan gejala berat, banyak kemiripannya dengan malaria yang kurasakan waktu itu.

Penyakit malaria disebabkan oleh gigitan nyamuk anopheles yang membawa parasit plasmodium. Berdasarkan plasmodiumnya, maka malaria ada 5 jenis (dulu seingatku cuma tiga). 

Plasmodium vivax, plasmodium ovale, plasmodium malariae, plasmodium knowlesi, dan plasmodium falciparum. Menurut sumber rujukan artikel ini, yang paling banyak di Asia adalah malaria vivax.

Baca juga: Siapa Bilang Jadi Anak Bungsu itu Enak?

Obat Malaria Alami

Entah kenapa orangtuaku tidak membawa anaknya ke faskes. Padahal biasanya kalau demam lebih dari tiga hari, mereka akan memanggil bidan terdekat atau membawaku ke puskesmas.

Obat yang setiap hari dibuatkan Mamak adalah daun pepaya yang diparut. Rasanya seperti hidup. Pahit! Setelah sakit sekira dua pekan, barulah keadaanku membaik. Tuh, makin mirip Covid-19 kan? Hanya saja waktu itu tidak ada sesak napas, sebagaimana yang sering kutemukan dalam kisah-kisah penyintas Covid-19.

Meski semua gejala sudah tidak ada lagi dan merasa sudah fit total, namun sesekali jika badan kelewat lelah, aku akan menggigil lagi dengan rasa sakit di seluruh persendian. Hal itu berulang terus hingga bertahun-tahun.

Pertama kena malaria, itu tahun 2003. Pada 2008, ketika sedang mengikuti kegiatan FLP di Jakarta, aku terpaksa tidak keluar dari penginapan karena mendadak meriang. Padahal itu adalah agenda penting, ketika para ketua se-Sumatra berkumpul.

Seorang teman sekamar kemudian menyeduhkan kopi herbal untukku. Alhamdulillah, besoknya aku sudah prima kembali. Tapi sepulang dari Jakarta, teman yang bekerja sebagai perawat mengajakku berobat ke puskesmas tempat ia dinas.

Menurut banyak kabar yang kudengar, malaria tidak bisa disembuhkan. Temanku membenarkan. "Apolagi awak memang dak pernah berobat!" katanya. Itu juga berobat karena ia yang memaksa.

"Besok-besok kalo acara lagi sakit lagi kayak mano? Iyo kalo dapat kawan yang baek kayak kemarin. Orang kumpul nak begawe malah ngurus orang sakit," omelnya.

Di puskesmas, diperlihatkan padaku parasit pada darah di bawah mikroskop. "Itu na, vivax!" temanku menyilakan.

Di matanya mungkin jelas mana darah mana plasmodium. Di mataku, semuanya entahlah. Tapi memang ada yang bergerak-gerak di sana dengan bentuk yang tidak jelas.

Dari puskesmas, aku dioleh-olehi obat buanyak banget. Dengan ukuran yang membuatku stres duluan. Setiap aku melihat obat itu, rasa sakit seperti merayapi tubuh dari ujung kepala ke ujung kaki. Jadi obat itu kubiarkan tergeletak berbulan-bulan bahkan sampai lupa, karena kepalaku tak bisa dibujuk.

Baca juga: 5 Tipe Orang yang Disukai Nyamuk

Akhirnya (Mungkin) Sembuh

Akhirnya obat dari puskesmas memang tak satu pun yang kuminum, karena psikisku kacau. Setiap melihat tumpukan obat dalam kresek kecil itu, aku yang semula sehat walafiat tahu-tahu rasanya tak karuan. Alih-alih sembuh.

Ada pengalaman bocah yang menurutku cukup lucu. Jadi setiap bulan, sejak kelas 1 SMP ketika awal mendapatkan haid, perutku selalu kram. Senggugut kata orang.

Setiap hari pertama haid, aku akan terbaring nyaris tak mau bergerak. Karena kalau salah pose, sakitnya mampus banget. Mau minum obat, kata orang-orang bisa mandul. Begonya, aku percaya!

Sebelum kena malaria, sakit yang paling sakit itu ya senggugut. Saking sakitnya malaria, lalu kubuat gambar seperti lomba, dengan mati sebagai juara 1. Malaria di posisi ke-2, disusul senggugut.

Kemudian baca sana-sini, dapat info sana-sini. Akhirnya setiap bulan aku minum kunyit asem untuk meringankan sakit. Lumayan efektif. Makin tambah umur, makin males yang ribet. Setiap mau haid, beli jamu kunir asem beberapa botol. Tambah umur, mau yang lebih praktis lagi; minum obat analgesik.

Nah, kemudian seseorang yang sebenarnya sales kopi tapi mengaku teman menyarankanku mengonsumsi kopi herbalnya setiap tiga hari menjelang tanggal haid. Kopi yang sama dengan yang pernah diberi temanku saat acara di Jakarta. Daripada minum yang kimia terus, begitu katanya.

Okelah, karena aku sudah menghasilkan duit sendiri dari menulis, tak apa kopi mahal dibeli. Yang penting aktivitas tak terganggu. Lagian obat dalam bentuk kopi kok ya ideal banget! Sejak SMA aku memang keranjingan kopi, untuk teman begadang saat belajar. Padahal pinter juga nggak.

Haid tak haid, aku minum kopi itu. Sampai kemudian, di kantor seorang teman cerita bahwa ia dulu punya malaria dan sembuh berkat kopi yang kuminum. Baru aku sadar, malariaku tak pernah kambuh padahal sudah lebih 10 tahun!

Kenapa merek kopi itu tak kusebut? Karena dia gak endors. Ih sayang banget padahal. Tapi aku belum tahu sih, ini beneran sembuh atau nggak. Meski Alhamdulillah tak pernah kambuh, tapi setiap hendak donor, biasanya aku langsung ditolak gara-gara punya riwayat malaria. Ya sudahlah, aku juga ngeri disuntik. Gaya-gayaan aja mau donor itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun