Adakah di antara pembaca yang tau, bahwa hari ini adalah Hari Hansip (pertahanan sipil)? Kutanyakan, karena satuan ini sudah lama tak terlihat lagi. Alih-alih mengingat hari lahirnya.
Terakhir aku melihat orang berseragam Hansip adalah saat Pilpres 2019. Ah, belum terlalu lama ya. Padahal Hansip sendiri sudah berganti nama sejak 2014. Nah loh, apa ada yang sadar?
Pemilu Tahun 90-anÂ
Zaman Orde Baru, pelajaran menghafal adalah materi yang mudah. Jumlah partai politik hanya tiga. Para menteri orangnya itu-itu saja. Rasanya semua tenang-tenang saja, kecuali dua kakakku yang tiap pemilu selalu kecewa.
Kakak pertama sepertinya mengidolakan Soekarno, ia selalu memilih PDI. Kakak kedua cukup religius, ia tak pernah berpaling dari PPP. Tapi setiap Pemilu, di kampung itu hanya satu orang yang memilih PDI dan PPP. Sisanya Golkar.
Orang tua dan kakak yang lain tidak ikut memilih. Sepertinya mereka sudah tau, tak akan ada perubahan. Yang terjadi justru kami dikucilkan karena tak mau memilih Golkar. Kok bisa tau ya, kalau dua orang yang non-Golkar itu ada di rumah kami? Padahal dulu itu slogan luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) membahana ke mana-mana.
Gimana nggak terasa, wong orang bagi-bagi beras dan kaus, rumah kami dilewati begitu saja. Bahkan ketika untuk pertama kalinya Pemilu menghadirkan partai lebih dari tiga (kalau tak salah waktu itu Golkar bernomor 33) dan kakak-kakak tak lagi memilih PDI dan PPP, tetap saja gerombolan kampung melewatkan rumah kami dari pembagian bingkisannya.
Misteri itu baru terpecahkan kemarin, ketika aku membaca sejarah Hansip di Tirto. Ternyata salah satu tugas yang diembankan pemerintah pada satuan ini adalah mengarahkan para pegawai negeri di daerah-daerah untuk memilih Golkar pada setiap Pemilu.
Dibilang tau betul, nggak juga sih. Tahun-tahun itu kan aku cuma anak SD. Aku cenderung memercayainya karena kerap mendengar diskusi kakak-kakak, ikut membaca majalah mereka (Gatra, Tempo, Intisari, dll), ditambah artikel yang belakangan kusebut tadi.
Baca juga:Â