Mengenang permainan gotri ala gotri tak bisa melepaskan ingatanku akan seorang teman sekelas bernama Elizabeth. Jika Lizbet, begitu panggilannya, yang mendapat giliran jaga, kami yang sembunyi rasanya mau mati.
Lizbeth punya kecepatan lari paling gila. Hanya anak laki-laki yang berani membuang kodok, karena butuh kecepatan lari yang sama agar sempat mencari tempat persembunyian yang ideal.
Lizbeth tidak mencari pemain lain dengan berjalan atau mengintip dari jauh. Ia berlari memungut kodok, lari pula saat meletakkannya. Kemudian mengejar pemain lain yang masih plonga plongo mencari tempat yang dirasa tepat. Pokoknya jika Lizbeth jaga, asal jangan jadi yang pertama disebut, sudah aman.
Aku dulu sering menghitung dalam hati, ketika teman-teman masih sibuk menggambar atau mencari posisi. Jika kodok dimulai dari si A, maka ketika lagu berakhir, ia akan berhenti di tangan B. Aku menghindari posisi itu tanpa diketahui teman lain.
Jadi ketika aku tau Lizbeth bakal masang (istilah untuk jaga), aku sudah merencanakan ke arah mana aku akan berlari dan sembunyi. Jangan mencari-cari lagi, keburu ditangkap!
Ah, gara-gara gotri ala gotri jadi ke mana-mana ceritanya. Sungguh bikin rindu yang bagian ini. Rindu dan sedih jadi satu.
Pernah kukatakan pada anak-anak, seluruh permainan yang ada di HP itu tidak ada yang menandingi betapa serunya masa kecil anak-anak tahun 90-an dulu. Tapi waktu aku kecil, kakak yang usianya belasan tahun lebih tua pernah bilang, tahun 70-an lebih seru dari hari itu.
Jangan-jangan anakku juga akan bilang begitu pada anaknya, puluhan tahun nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H