Dua bocah itu asyik nonton BoboiBoy dari HP emaknya. Kasian, pikirku. Di mana serunya habis sahur nonton kartun?
Walau kuakui, Boboiboy lebih menarik dari film-film kartun zamanku dulu. Ditambah lagi mereka bisa menikmatinya dengan gawai di tangan sambil rebahan. Tak perlu menerobos semak menyeberang kali, seperti aku di tahun 90-an.
Ramadan 90-an
Bersama teman-teman, pada Minggu pagi kami berjalan kaki menuju rumah teman sekolah yang punya parabola. Waktu itu RCTI belum sampai ke Jambi. TV tetangga terdekat hanya berisi TVRI dan sesekali TPI.
Film yang ditonton adalah Ksatria Baja Hitam. Meski sudah berkali-kali datang menonton, tapi tak satu episode pun aku kenang dengan baik. Hanya ingat nama Kotaro Minami dan Belalang Tempur, itu pun karena mereka juga muncul di gambaran (kartu tepe'an).
Tapi itu jika hari biasa, beda dengan Ramadan. Pada bulan puasa, kami memulai hari dengan salat Subuh berjamaah di langgar dekat rumah. Usai salat, keseruan berlanjut dengan main badminton di teras langgar.
Jangan kira sekampung itu berisi anak-anak baik semua, yang setelah sahur rela melewatkan tidur dengan berangkat ibadah. Kami butuh tanda tangan imam, untuk buku kegiatan Ramadan yang harus dikumpul ke guru, setelah lebaran nanti.
Sebenarnya setelah itu masih ada permainan mercon dari bekas busi mobil. Tapi karena kisah itu pernah kutulis di Kompasiana tahun lalu, males ah ngulang-ngulang cerita. Kayak orang tua!
Baca juga:Â Nostalgia Mainan Bocah 90-an
Puasa Tetap Bertenaga
Yang unik dari puasa zaman kanak-kanak adalah limpahan energi yang seolah tak ada habisnya. Berbeda jauh dengan saat dewasa, dikit dikit ngantuk.
Seingatku, saat SD dulu sekolah tidak libur walau puasa. Kalaupun libur kalau tak salah hanya di awal dan akhir, libur lebaran lebih lama ketimbang libur Ramadan.
Memang pelajaran lebih sedikit, tapi waktu yang agak luang tidak digunakan siswa untuk tidur-tiduran. Seringnya kami bermain gotri ala gotri yang sebenarnya sangat menguras tenaga.