"Coba Ira bagikan ke kawan-kawan, pengalaman belajar di rumah," kata guru Matematika kelas 2, waktu aku SMA.
"Ira ndak bisa tidur, Bu, kalo belum belajar," jawabnya.
Jangan tanya, kelas autoriuh. Ada yang terkesima, memuji, dan tidak sedikit yang mencela. Aku tidak termasuk semuanya. Cuma mual.
Ira adalah nama samaran. Ia langganan juara kelas dari kelas 1, bahkan sejak SMP. Selain pintar, Ira juga terkenal santun dan taat aturan. Hanya satu yang membedakan Ira dengan anak-anak baik lainnya; ia tidak ikut rohis dan tidak mengenakan jilbab.
Baca juga: Sebelum Jauh-jauh Dakwah, Perhatikan Hak Keluarga
Rekrutmen yang Gagal
Setiap Jumat, aku dan Pipit (ini nama asli), sering diteriaki teman-teman lain, "Woi, orang mentoring semua di musola, kamu langsung balek!"
Kami cuek saja melaju. Dasar hidayah belum sampai, padahal di rumah tidak ada yang diburu. Apalagi melihat Ira si anak teladan pun tak ikut rohis, kami merasa sudah berada di jalan yang benar.
Mungkin Ira pun demikian. Melihat kami yang gak badung-badung amat, juga tidak ikut ke musala, ia jadi merasa punya teman. Suatu hari, Ira yang tak begitu akrab denganku mengajak berbincang.
"Tari mau dak ikut Ira nanti pulang sekolah?" dia memang suka menyebut namanya saat ngobrol, bahkan dengan yang sebaya.
"Ke mano?"
"Kayak belajar kelompok gitu."