"Oh gitu. Bukan fiksi itu cerito-cerito, nonfiksi berita-berita."
"Berita jugo biso dikarang-karang, banyak. Kalau cerito nabi-nabi itu asli. Yang cerito detektif dekat laptop Ummi itu karangan."
Si kakak berpikir sebentar. Hari itu ia sibuk memahami antara fiksi dan nonfiksi dengan memilah buku-buku di rumah. Untunglah ia belum membaca novel sejarah, bakal repot menjelaskannya.
Dongeng vs Sejarah
"Jangan ngelawan Mamak, kagek jadi batu kayak Malin Kundang!" pesan kakak sulungku.
"Alah, Malin Kundang tu ketemu batunyo dulu, baru dibikin cerito," kata kakak nomor empat.
Kemudian para remaja itu pun berdebat mempersoalkan apakah Malin Kundang benar-benar penah hidup, apakah batunya ditemukan atau dibuat, dll. Aku tak ingat ujungnya, namun hingga remaja pula baru aku yakin bahwa Malin Kundang adalah dongeng semata.
Mitos, fiksi, dan dongeng adalah hal yang saling berbeda. Tapi semuanya sama-sama nyata di kepala aku kecil. Entah akunya yang kurang pintar, atau yang menyampaikannya kelewat pintar. Sehingga baik Malin Kundang maupun Firaun, sama-sama samar di benakku.
Baca juga:Â Malin Kundang versi Cerpen
"Dulu Mamak ke Angsoduo bukan pake sangkek, tapi Datsun!" kata kakak laki-laki saksi sejarah. Tapi aku tak bisa membedakan kadar kebenaran kisah itu dengan cerita Lucky Luke pada masa California gold rush. Tumpang tindih dengan pengakuan tetangga yang melihat hantu gelantungan di teras rumahku, juga kenanganku sendiri melihat tarsius di pohon macang depan rumah.
Semua tumpuk undung di kepalaku. Itulah sebabnya aku tak pernah membacakan dongeng untuk anak-anakku saat mereka hendak tidur. Lagipula, setiap pegang buku anak-anak menjelang tidur, aku yang lebih dulu habis-habisan menguap.