Saat membantu anak mengerjakan tugas sekolah, ada pertanyaan yang tidak ditemukan jawabannya. Jangankan oleh si adik yang baru kelas 2 SD, aku yang sudah puluhan tahun tamat SD saja tak menemukan di LKS mata pelajaran tsb.
Barangkali penerbit beranggapan para siswa dibekali buku panduan lainnya, sedangkan LKS hanya berisi lembar tugas. Nyatanya sekolah tidak menyediakan buku yang dimaksud. Baguslah, penghematan di masa pandemi.
Apa langkah selanjutnya? Mudah ditebak, tentu minta pertolongan si sakti Google. Maka kuketiklah pertanyaan yang biasanya juga ditanyakan orang lain itu (terlihat dari saran pencarian di kolom Google). Dan sudah ketahuan juga di mana mendaratnya pencarianku; brainly.
Caution! Mencari jawaban dengan bantuan Google sebaiknya dilakukan oleh orang tua. Karena kita bisa mengukur kemampuan, baca dulu di buku, jika mentok baru keluarkan jurus pamungkas. Jika anak yang melakukannya, percayalah mereka akan tergantung pada Google dan enggan membaca teks di buku lebih dulu.
Dari Mana Kutu Berasal?
Sambil iseng-iseng bermain dengan Google, entah kenapa tiba-tiba pertanyaan ini muncul di kepalaku. "Dari mana kutu kepala berasal? Kepala siapa yang pertama kali didatangi kutu?"
Mungkin karena sebelumnya aku menulis tentang cara kutu kepala berpindah dari satu manusia ke manusia lainnya. Sama sekali bukan karena aku yang mengalami. Sumpah!
Pertanyaanku tak terjawab, tapi pertanyaan lain yang disarankan Google, mendekati apa yang kumaksud. "Siapa penemu kutu kepala?" Maka kupilih situs brainly sebagai jawara page 1.
Dan inilah jawabannya, taraaa! Pediculus Humanus Capitis.
Bayangkan, jika pertanyaan itu ada di benak anakku. Kemudian mereka percaya 100% pada Google dan Brainly, bisa sesat!
Nyatanya, Pediculus Humanus Capitis adalah nama latin dari kutu kepala, bukan nama orang, apalagi seorang penemu kutu. Eh, sebentar. Siapa tau penamaan itu memang berasal dari nama penemunya, seperti monyet de Brazza di Afrika yang ditemukan oleh Pierre Savorgnan de Brazza.
Tapi siapa yang tau? Pokoknya Google gak tau!
Menurut Wikipedia, kutu rambut pada manusia tidak berbahaya karena tidak menyebabkan penyakit. Jikapun ada efek buruk yang disebabkan oleh jenis kutu ini pada seseorang, itu lebih ke faktor psikologis. Atau jika ada yang lebih parah, terjadi infeksi sekunder, adalah disebabkan oleh garukan tangan ybs, bukan karena gigitan kutu kepala.
Kutu manusia yang berbahaya adalah kutu tubuh (Pediculus humanus humanus) dan kutu kelamin (Pthirus pubis). Kutu tubuh mirip dengan kutu kepala, tapi mereka tidak berkembang biak di rambut, melainkan di pakaian.
Kutu tubuh dapat menyebabkan tifus dan biasanya memang menyerang orang-orang di lingkungan "tertentu". Sementara kutu kemaluan sangat berbeda dengan dua spesies lainnya, namun memiliki kekerabatan yang dekat dengan kutu primata.
Ada kemungkinan, pedikulosis kapitis ("penyakit" karena kutu kepala) menumbuhkan respons kekebalan alami terhadap pedikulosis corporis (penyakit oleh kutu tubuh) dan ftiriasis (penyakit karena kutu kemaluan).
Mencari Informasi di Era Digital
Begitulah ketika seorang dewasa mencari informasi di internet. Dari iseng jadi tambah pengetahuan baru. Bagaimana dengan anak-anak? Nah itulah yang jadi kekhawatiran.
Aku bukan hendak menulis tip, namun merasa tersadarkan. Guru memang sosok yang tak tergantikan, bahkan oleh robot pintar bernama Google atau Brainly sekalipun. Tapi Bapak/Ibu guru tau gak, siapa yang pertama kali kutuan?
Baca juga:
Solusi Laptop Tidak Bisa Connect ke Wi-Fi
Tanda Kamu Sudah Jadi Orang Tua yang Baik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H