Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mau Kawinnya, Tak Mau Anaknya

18 Januari 2021   07:00 Diperbarui: 18 Januari 2021   07:12 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahwa banyak janin yang jadi korban kejahatan orang tuanya sendiri, kita sudah tau. Praktik aborsi dengan alasan tertentu dibolehkan di Indonesia, tentunya untuk yang darurat sekali. Misalnya korban perkosaan, penyakit, dll.

Tapi yang ilegal ditengarai lebih banyak terjadi ketimbang yang legal. Disebut legal jika dengan alasan yang kusebut di atas, dilakukan oleh ahlinya, dan mendapat izin dari wali ybs.

Ada kalangan yang menganggap larangan aborsi mengebiri hak perempuan untuk tidak memiliki anak. Padahal kalau mau berpikir sedikit lebih waras, aborsi memiliki efek yang tak main-main.

Dikutip dari sehatq.com (16/12/19), aborsi berisiko mengakibatkan pendarahan hebat, infeksi rahim, kerusakan rahim, keguguran di kehamilan berikutnya, dll. Kalau sudah begitu, siapa yang menanggung sakit? Perempuan juga kan.

Teman dari temanku pernah melakukan aborsi ketika pacaran. Alasannya saat itu mereka belum siap menjadi orang tua, karena masih kuliah. Kini mereka telah menikah puluhan tahun, tapi belum pernah berhasil mendapatkan anak.

Selain fisik, beban psikis pasangan itu pasti luar biasa. Jangan bilang karma, kenyataan yang mereka hadapi saat ini sudah jadi hukuman yang membebani keduanya.

Apakah pelaku aborsi saja yang kejam? Apa yang "bertanggung jawab" untuk menikah karena alasan "kecelakaan" sudah lebih baik? Nanti dulu.

Baca juga: Jangan Menulis Diari!

Anak Hasil Hubungan Terlarang

Tim peneliti dari University of Pennsylvania menyebutkan, 71% perempuan yang pernah selingkuh mempunyai ibu yang dulu juga pernah selingkuh. Sedangkan 45% laki-laki yang pernah selingkuh punya ayah yang juga pernah selingkuh.

Dalam Islam, dosa zina adalah dosa yang harus dibayar oleh keturunannya. Bisa dibilang selaras dengan penelitian terkait "jejak" perbuatan orang tua yang tertanam pada anak.

Sederhananya begini, jika kamu melakukan hubungan badan dalam keadaan nyaman, maka benih yang kamu hasilkan punya peluang lebih besar untuk jadi manusia berkualitas, daripada dilakukan dalam keadaan cemas karena khawatir ketahuan orang lain.

Ada mitos buruk yang pernah dialami kakakku lalu ia ceritakan padaku di masa kecil dulu.

"Waktu kami kecik," kata kakakku, "Uni itu kalau mau main dengan kami, kepalanyo mesti ditokok dulu."

Yang dipanggil uni adalah ibu dari temanku. "Karena?"

"Karena dio anak haram, jadi orang-orang tuo sini ngajarin kayak gitu biar dak nular degilnyo."

"Emangnyo mamak L degil?" tanyaku.

"Dak sih, tapi centil. Itu si L kan lahir di luar nikah jugo. Untung dak ado lagi yang ngajari nokok-nokok, jadi orang dak tau."

Nah, simpulkan sendiri!

Orang tua yang merasa bertanggung jawab, seharusnya tidak berhenti pada menikah, tapi terus menunjukkan tanggung jawab mereka dengan mendidik anak-anak agar dosa yang sama tidak dilakukan lagi.

Meski dikatakan "dosa yang harus dibayar", kita punya garansi menolak takdir buruk dengan doa. Jadi pikir baik-baik sejak awal sekali, kalau tak mampu mendidik anak, sebaiknya jangan bikin anak.

Baca juga: Anak-anak Juga Bisa Depresi

Bahkan Anak dari Hubungan Normal pun Rentan Ditinggalkan 

Semasa kecil, aku sering mendapati teman-teman yang tak diketahui di mana ayah mereka. Bahkan ada yang tak pernah kulihat orang tuanya, ayah maupun ibu. Seingatku aku tak pernah bertanya pada mereka, karena dilarang oleh orang tua dan kakak-kakak di rumah.

Seiring bertambahnya usia, baru kupahami bahwa mereka adalah anak yang ditinggal ayah atau orang tua sekaligus, karena konflik rumah tangga. Syukurnya mereka (sepertinya) baik-baik saja.

Kepada yang begini, aku yakin kebanyakan orang akan setuju jika si anak di kemudian hari tak peduli pada orang tuanya. Justru jika mereka menyambut kedatangan orang tua setelah mereka sukses, orang lain malah ikutan sakit hati.

Hanya saja aku jadi teringat doa yang sering diajarkan para guru TK pada anak-anak, yang diambil dari surah al-Isra' 24; "Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil."

Anak-anak yang semasa kecil tak menemukan sosok ayah, ibu, atau keduanya karena alasan yang buruk, mungkin enggan membaca doa ini. Karena jika dimintakan perlakuan yang sama dengan yang mereka terima, justru jadi semacam balas dendam.

Artinya, Allah memang mengajarkan manusia sebuah ketentuan logis. Untuk mendapatkan anak yang baik, jadilah orang tua yang baik. Apa yang ditanam, itu yang dituai.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun