Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ternyata Menulis Diari Tak Selamanya Baik

15 Januari 2021   07:30 Diperbarui: 15 Januari 2021   07:39 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Zoran Borojevic on Unsplash

Sudah dua kali si sulung kubelikan buku harian atau diari. Walaupun waktu mintanya luar biasa melas, tapi kedua buku itu tidak pernah dihabiskan. Bahkan sampai setengahnya pun tidak.

Jadi, tidak ada diari ketiga. Anaknya pun tau diri, tak pernah meminta lagi. Aku memang ingin anak-anak biasa menulis, tak perlu jadi penulis. Diawali dengan menulis kejadian sehari-hari, pengalaman buruk maupun baik.

Tapi kemudian, pikiranku berubah ketika menemukan file-file lama di Google Drive. Salah satu tulisan, dibuat tahun 2015 dan menceritakan kisah sedih masa itu. Hal buruk yang sebelumnya kulupakan, akhirnya terkenang kembali. Sakitnya terasa lagi.

Terbuktilah yang selama ini pernah kupelajari, sebenarnya menuliskan kenangan-kenangan tak selamanya baik. Kita sudah diselamatkan oleh kecenderungan alamiah untuk lebih banyak mengingat hal baik daripada yang buruk.

Tapi karena yang buruk juga dituliskan (dengan harapan untuk melepas kesedihan), suatu saat ketika dibaca kembali, justru mengulang kesedihan yang sama.

Manfaat dan mudarat menulis diari sudah pernah kutulis di blog pribadi, kamu bisa klik tautan pada teks untuk membacanya. Di sini aku hanya membagikan pengalaman unik yang belum lama kualami. Siapa tau bisa sekalian jadi tips.

Sebelumnya aku pernah membaca tentang bagaimana menghapus sebuah kenangan buruk, tapi lupa sumbernya. Caranya adalah dengan menuliskan kesedihan itu pada selembar kertas. Lepaskan semua emosi di situ, jabarkan, lalu makilah habis-habisan.

Setelah itu, buang kertas tersebut. Lebih aman mungkin dengan dirobek menjadi potongan kecil, atau dibuang ke pembakaran. Menurut sumber tsb, kesedihan yang ada di hati dan kepala akan ikut lumat bersamanya hancurnya kertas itu.

Aku belum pernah mencobanya. Tapi yang mirip, pernah. Yakni ketika aku menuliskan rasa jengkel di halaman Word. Setelah diketik habis, kusimpan. Dari folder, file tsb kuhapus. Lalu recycle bin kukosongkan.

Sepertinya berhasil. Tapi tidak begitu berkesan. Makanya aku tak pernah membagikan tips itu. Hanya teringat sekali lewat, tak yakin dengan keberhasilannya.

Kembali ke kisah catatan 2015 yang tersimpan di Google Drive. Kukatakan bahwa aku sudah lupa tentang kejadian buruk itu. Lalu Google memberi tau bahwa drive-ku hanya tersisa sedikit ruang, maka aku harus bersih-bersih jika ingin terus mendapat fasilitas gratis.

Kemudian terbukalah sebuah file yang menceritakan kejadian tsb. Sakit hatinya benar-benar terasa, seperti luka yang baru saja terjadi. Aku kesal sendiri dibuatnya, kenapa juga harus ketemu tulisan lama yang alih-alih bisa jadi bahan nostalgia yang membahagiakan, justru merusak suasana hati.

Setelah membacanya, file tsb lalu kupindahkan ke tempat sampah, kemudian kukosongkan sampah di Google Drive agar bisa muat lebih banyak untuk file yang baru.

Tau kenapa aku berkali-kali hanya menyebut hal/kejadian buruk, dan tidak spesifik sama sekali? Bukan untuk menyembunyikan kisahnya, nyatanya aku lupa sama sekali, kejadian buruk apa yang pernah kutulis di sana. Kucoba mengingat-ingat, lebih dari dua pekan sejak file itu kuhapus, sampai sekarang kenangan itu tak juga tergali.

Makin mantaplah aku untuk tidak memberi buku harian ketiga untuk si sulung---mungkin adiknya pun tidak. Sepertinya lebih positif jika mereka menuliskan kegundahan di buku carian saja. Atau kertas-kertas sisa cetak yang gagal. Yang tidak perlu mereka baca lagi di hari lain.

Maka, menulis yang baik-baik sajalah, ya. Biar enak saat dibaca suatu saat nanti. Yang buruk silakan ditulis, tapi hanya untuk dihapus. Jangan sekali-kali membaginya di medsos! Jejak digital itu jahat.

Kejadian yang gak jelek-jelek amat yang pernah kutulis.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun