Sebelumnya masih misteri, kenapa orang-orang yang jauh rela menyekolahkan anak mereka ke sekolah kami. Sementara tetangga, yang dijanjikan keringanan biaya, tak ada yang mendaftar? Apa sih pertimbangan orang tua waktu pilih-pilih sekolah untuk anak mereka?
Dipasanglah mata dan telinga untuk menyimak, ada apa? Padahal kami berusaha membaur dengan masyarakat. Tanaman di sekolah sering dipanen warga sekitar tanpa izin, petugas bersih-bersih diambil dari warga dekat sekolah. Anak-anak tetangga sering masuk dan membobol loker, tapi tidak dilaporkan ke pihak berwajib.
Usut punya usut, dapatlah satu cerita. Salah seorang warga memang pernah datang melihat-lihat ke bagian TK. Di sana, ia mendapati siswa bermain pasir diawasi guru. Alih-alih menyimpulkan si anak bermain pasir bersih dan dijaga guru meski jam istirahat.
Kabar yang beredar justru, "di sekolah itu anak-anak dibiarkan bermain pasir padahal gurunya ada!" Kami ngakak berjamaah. Mereka tak paham bahwa bermain pasir berguna untuk motorik halus anak.
Baca juga:Â Jejak Digital PJJ
Sekolah Papan
Kalau ditulis semua, sampai ultah ke-40 barangkali belum habis koleksi kenanganku. Tapi kucomot satu lagi saja untuk bagian akhir artikel ini.
Setelah lama berdiri, pihak yayasan kemudian membuka jenjang yang lebih tinggi. Harapannya, siswa yang tamat dari jenjang di bawahnya tinggal melanjutkan di sekolah yang sama.
Nyatanya harapan tinggal harapan. Tak sedikit wali murid yang menyekolahkan anak mereka ke sekolah lain. Mayoritas alasan yang melanjutkan di sekolah yang sama, karena merasa dekat dengan guru dan merasakan perubahan besar pada karakter anaknya.
Sementara yang melanjutkan ke sekolah lain, alasannya sekolah yang ini gedungnya dari papan. Padahal sejak anaknya masuk di hari pertama, memang sekolah ini papan handar, sebab konsepnya memang alam.
"Aneh, Bu. Masa sekolah dindingnya papan."
"Loh, yang kemarin kan papan juga."