Dulu aku punya buku saku yang kubuat sendiri dari kertas bekas di warung Mamak. Di antara buku bekas yang dijual orang ke warung, biasanya ada buku tulis yang belum terpakai seluruhnya. Jadi masih bisa dimanfaatkan sebelum jadi bungkus cabai atau belanjaan lain.
Sejak SMP, sering orang mengira aku tak sanggup beli buku, gara-gara kerap pakai buku bekas. Padahal aku merasa sayang melihat kertas/buku yang masih kosong disia-siakan. Apalagi kalau tau untuk membuat buku, dibutuhkan banyak pohon dan air.
Apalagi aku tipikal orang yang jarang makeup, gak bisa gonta-ganti sepatu/tas, jarang beli baju. Dahlah, tampangnya mendukung banget untuk dianggap melarat.
Jadi setelah agak dewasa, malu juga kan dicela gembel. Makanya kertas-kertas sisa itu kukreasikan sedemikian rupa menjadi buku kecil yang muat jika dimasukkan ke saku jaket. Covernya cantik, foto close-up pemiliknya yang dicetak di kertas glossy. Tentunya difilter dulu!
Ketika melihat buku saku itu, orang akan bergumam, "kreatif!" alih-alih mengasihani sambil bilang "kismin," meski dalam hati.
Baca juga:Â Untung Rugi Menulis Buku Harian
Fungsi buku saku itu adalah untuk mencatat ide yang tiba-tiba muncul, sedang aku tidak pada waktu yang tepat untuk menulis. Seringnya dalam perjalanan, di kantor, atau tempat-tempat lain yang tidak memungkinkan untuk menyelesaikan tulisan.
Nantinya, ide pada buku saku akan kukembangkan ketika situasi dan kondisinya mendukung. Berapa persen dari catatan itu yang berakhir jadi tulisan utuh? Paling banyak 25 persen, alias seperempatnya. Ngenes.
Sia-sia menghemat air dan pohon, sia-sia mengedit foto. Hasilnya tak sampai separuh.
Kemudian bermunculanlah penyimpanan awan semacam Google Drive, Evernote, dll. Sebelumnya aku juga kerap menyimpan file lewat surel, simpan di folder dan draft. Sekarang ada pula Google Keep dll yang kian lengkap tapi simpel.
Otomatis aku tak perlu lagi membuat buku saku. Lagi pula warungnya juga sudah tak ada, aku pun bukan lagi karyawan kantor yang punya kertas-kertas salah cetak. Suamiku malas bawa catatan saat khutbah, enak pakai tablet.
Tapi segala kemajuan teknologi itu adalah pencapaian Google atau perusahaan teknologi lainnya. Aku sebagai pengguna hanya tau pakai, pasang kode html aja kadang error.
Namun secara tak sengaja, aku menemukan pencapaian superreceh yang sepertinya bisa kubanggakan. Sepertinya.
Yakni ketika kusadari, di 2020 yang suram ini ternyata aku hanya punya sedikit artikel tak utuh. Yang kalaupun belum jadi artikel utuh, sudah kutuliskan "peta" di mana atau dengan kalimat apa kelak artikel itu berakhir.
Secara tak sengaja aku telah membuktikan teori yang beberapa tahun belakangan sering kubawa ke mana-mana. "Jangan mulai menulis kalau belum tau apa endingnya."
Baca juga: Ide Kado Sepanjang Tahun
Dalam konteks fiksi, aku tak akan membuka cerita jika penutup belum ditemukan, meski konfliknya menggebu-gebu ingin segera diketik.
Untuk nonfiksi, setidaknya ada poin-poin yang kurencanakan, meski tak selalu jadi subjudul. Sehingga ketika artikel belum selesai tapi harus kutinggalkan, di waktu lain aku mudah untuk meneruskannya. Asal topiknya masih relevan dengan kondisi terakhir.
Setelah kucek lagi folder-folder di berbagai akun drive maupun penyimpanan laptop, memang artikel "corat-coret" jauh lebih sedikit dibanding simpananku di tahun-tahun sebelumnya. Bisa dibilang, selama 2020 aku nyaris menghabiskan semua ide menjadi tulisan utuh.
Menurutku itu hebat, terserahlah bagi orang lain. Walau aku juga nggak tau, ini produktifnya karena makin kreatif atau makin tertekan keadaan. Bodo amat, minimal pandemi ada sisi positifnya dikit. Dikit! Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H