Nyaris tanpa orang dalam, tak serupiah pun "pelicin", aku berhasil membuat Mamak menangis haru ketika sertifikat itu akhirnya sampai di tangan beliau. Mamak menyalami petugas Kantor Pertanahan dengan penuh terima kasih.
Padahal bertahun-tahun aku berurusan dengan kantor tanah, baru belakangan mbak-mbak itu muncul sebagai customer service, yang bertugas memberikan arsip yang dibutuhkan warga hari itu. Begitulah lugunya orang tua.
Kini, Mamak tak lagi mengulang kisah bagaimana beliau datang dan membeli tanah. Melainkan bagaimana kami terus bergerak meski diremehkan. Cemooh dari kiri kanan ditangkis dengan kesabaran.
Aku berhasil membuktikan, literasi yang baik (membaca SK dengan lampirannya secara menyeluruh) adalah lebih penting ketimbang mendengar desas-desus tak penting yang justru menyurutkan langkah. Tapi lebih dari itu, tujuan utamanya adalah mendapatkan hak Mamak yang tertunda puluhan tahun lamanya. Membuat beliau bahagia, yang itu pasti membahagiakanku.
Benar aku tidak membahagiakan beliau dengan cara berbagi, memberi materi, apalagi menyantuni. Tapi aku melihat binar bahagia di matanya. Seperti aforisme Arab, Man as'adunnaas? Man as'adannaas. Siapa orang yang paling bahagia? Orang yang membuat orang lain bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H