Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benarkah Orang yang Sulit Percaya Juga Tak Bisa Dipercaya?

7 Desember 2020   06:00 Diperbarui: 7 Desember 2020   06:05 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ashkan Forouzani on Unsplash

Salah satu trik psikologi yang pernah kubaca adalah, jangan beri alasan jika tidak diminta. Maka jika suatu waktu aku datang terlambat dalam sebuah pertemuan, cukup minta maaf. Tak perlu berpanjang-panjang cerita.

Apa trik itu benar, tak tau juga. Tapi banyak pengalamanku selama bekerja yang membenarkan teori tersebut. Ketika kita memberi alasan, orang justru mencari-cari titik lemah alasan itu. Yang pada akhirnya seolah ingin menujukkan bahwa kita bohong, dan kita pun berupaya agar tidak dianggap bohong. Melelahkan.

Apalagi aku dianggap orang yang tak mudah percaya pada orang lain. Yang menurut teori psikologi tertentu, orang yang tidak mudah memercayai orang lain, adalah orang yang tak dapat dipercaya.

Sini, kuceritakan kenapa aku sulit percaya pada ucapan orang lain. Ambil pelajaran, yuk!

Aku punya abang yang jadi andalan di rumah kami. Aku memanggilnya kakak, sebagaimana umumnya orang Jambi dan Sumsel. Kalau kakak perempuan dipanggil ayuk.

Dialah yang mengajariku agar tak pernah bohong, terutama pada orangtua. "Kalau Tari bohong, Mamak yang bedoso. Kasian, kan?" ucapnya saat aku kecil dulu, yang masih kuingat hingga kini.

Baca juga: Suami Itu Pemimpin, Bukan Penguasa

Biji Kedondong Adalah Obat Batuk

Dulu di samping rumah kami, ada pohon kedondong yang tinggi dan tua. Banyak orang percaya pohon itu ditunggui hantu. Bahkan ada tetangga yang pingsan siang bolong saat tak sengaja melihat ke puncak pohon tersebut.

Kata kakakku, itu cerita khayalan. Barangkali ia pingsan karena kepanasan. Atau silau karena pohon tersebut sangat tinggi. Aku percaya kakakku, walau satu kampung percaya tetangga itu melihat hantu.

Suatu hari, kami panen buah kedondong. Anak-anak Mamak dan teman-teman kakak ikut menikmati di rumah kami. Ada yang membanting kedondong ke aspal, ada yang menggeprek buah itu di sel pintu, macam-macam cara.

Lalau salah seorang dari mereka terbatuk-batuk saat itu. Refleks kakakku bilang, "Tuh biji kedondong obat batuk!"

Teman-temannya tertawa. Aku percaya kakakku. Bahkan sampai remaja, masih kupikirkan bagaimana caranya biji kedondong yang penuh "kawat" itu bisa mengobati batuk.

Kamera di Setang Motor

Pertama kali aku belajar mengendarai motor adalah saat duduk di kelas 2 SMP. Yang mengajari ya kakakku itu, menggunakan motor FIZ-nya.

Di setang kanan, dekat rem, ada benda kotak yang membuatku penasaran. Sejak pertama motor itu ada di rumah, tak pernah kutau apa fungsinya. Lalu kutanyakanlah pada si empunya.

"Itu kamera," jawab kakakku santai.

Sudah bagus diajari dan dipinjamkan, jadi aku tak berani mengotak-atik. Sesekali kuperhatikan benda itu, mencari di mana tombolnya. Melihat-lihat, di mana gambar hasil rekaman bisa dilihat.

Sampai aku punya motor sendiri, baru kutau benda itu bukan kamera. Tapi tabung minyak rem!

Shaolin yang Tak Bertanggung Jawab

Biasanya kakakku mengajari motor di pelataran gedung DPRD. Dulu kawasan Kotabaru pada Ahad pagi relatif sepi, jadi aman untuk berlatih mengendarai kendaraan bermotor. Sekarang sebaliknya.

Dari kompleks perkantoran Kotabaru menuju arah pulang ke Simpang Kawat, kami biasa melewati sebuah kelenteng. Atau yang semacam itu, maaf aku tak paham.

Suatu kali, dalam perjalanan pulang kulihat halaman kelenteng begitu berantakan. Ada batu-batu berserakan, kayu, dan macam-macam benda di sana.

"Kenapo kelenteng tu kacau, Kak?" tanyaku serius.

"Shaolinnyo abis latihan kungfu dak diberesin," jawabnya tak kalah serius.

Sumpah, aku membayangkan orang-orang serupa Wong Fei Hung berlari melompat dari kepala ke kepala, sebagaimana Jet Li beraksi di Kungfu Master dan Fong Sai Yuk. Tapi di film-film itu para shaolin adalah orang yang rajin, kenapa nyatanya begini?

Setelah dewasa dan melewati kelenteng itu lagi, baru aku paham. Dulu itu, kelenteng sedang melakukan pemugaran.

Baca juga: Manfaat dan Mudarat Menulis Diary

Nilai rapor membuktikan, bahwa otakku gak dodol-dodol amat. Malah di SD dan SMP rajin juara, tapi aku tak sadar dibohongi bahkan sampai setidaknya dewasa muda.

Sebabnya, karena terlalu percaya. Sedangkan yang berbohong tak punya niat membohongi adiknya. Ia hanya bercanda dengan cara yang keliru. Maka sejak menyadari keluguan konyol itu, aku berjanji pada diri sendiri tidak akan membohongi anak-anakku kelak. Meski bercanda sekalipun.

Tapi efek sulit percaya ucapan orang, masih menempel hingga sekarang. Selalu muncul prasangka, ini orang asal ngomong, mengkhayal, atau bercanda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun