Sumpah, aku tadinya sedang menulis tentang blog walking. Kupending gara-gara mendengar suamiku menjawab pertanyaan temannya via voice note. Aku ngakak, tapi dalam hati. Cool dikitlah.
Bagaimana tak terusik, si teman bertanya tentang hadits makruhnya istri yang tidur dengan suaminya, sementara ia mengenakan celana dalam.
Barangkali si teman belum pernah mendengar berita tentang seorang perempuan yang kemaluannya kemasukan hewan saat ia tidur. Â
Maka dijelaskanlah yang dimaksud dengan celana dalam itu. Yakni celana panjang yang sebaiknya dipakai sebagai dalaman gamis perempuan. Karena kalau perempuan mengenakan rok atau gamis, maka ia harus mengenakan celana panjang lagi di dalam agar lebih aman.
Sama seperti ketika seorang perempuan dilarang mengenakan celana. Itu maksudnya bukan tidak boleh pakai celana di dalam, ataupun dilarang mengenakan celana panjang (harus rok). Tapi celana yang dimaksud adalah legging atau celana panjang yang menampakkan lekuk tubuh.
Baca juga: Keturunan Nabi Tetap Bukan Nabi
Jadi celana yang demikian dipakai di dalam, setelah underwear, lalu dilapis lagi dengan rok atau gamis. Nah sekarang bayangkan kalau tidur mengenakan legging. Gerahlah, Mamak!
Dalam menjelaskan bedanya celana-celana tersebut, suamiku begitu sungkan menyebut kata kolor. Bolak-balik kata punten diulang-ulang sebelum menyebut kolor. Syukurlah, artinya beliau akan takut menyebut lonte di hadapan banyak orang.
Hayo, malah ke mana-mana kamu nulis!
Kuberi masukan sedikit, bahwa kolor itu istilah yang biasa kami pakai untuk celana dalam segitiga, tapi itu pun jarang disebut. Lebih sering disingkat CD saja. Tidak akan ada yang bertanya CD-R atau RW, karena zamannya sudah lewat.
Sementara kolor di tempat lain, lebih sering merujuk pada celana pendek di atas lutut yang dipakai sehari-hari di dalam rumah, oleh perempuan maupun laki-laki.
Baca juga: Jangan Gampang Berfatwa, Ini 4 Sumber Hukum Islam
Kemudian ada lagi yang bertanya, soal perempuan vs habib yang sedang trending saat ini. Muter-muter suami menjelaskan, saking ribetnya urusan ini. Intinya kita ini tidak ke sana tidak ke sini, begitulah. Â
Lalu diceritakanlah adanya gerakan murtad massal karena malu jadi orang Islam, gara-gara ucapan sang habib. Malu melihat perbuatan saudara kita, ya bagus. Namanya saudara, dia salah kita ikut tak enak hati.
Tapi kalau malu jadi orang Islam. Ya udah, keluar aja dari Islam! Emang Allah rugi? Nah makin ke mana-mana kan. Udah aja ah! Selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H