Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keturunan Nabi Kok Kelakuannya Begitu!

10 November 2020   11:28 Diperbarui: 10 November 2020   13:07 1756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik
<span>Photo by <a href=Vera Davidova on Unsplash" width="740" height="493" loading="lazy" />

Kabarnya hari ini Habib Rizieq Shihab pulang, aku sempat nonton videonya semalam, ketika beliau dalam perjalanan menuju bandara, via channel Youtube FPI.

Sejak zaman SBY, bahkan jauh sebelum itu, aku sudah sering membaca tentang pentolan FPI itu. Tidak ada yang spesial, beliau seperti dai lainnya. Banyak teman, dan tidak sedikit musuhnya.

Yang membuat HRS istimewa adalah bahwa beliau adalah keturunan Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam. Yang sebagai muslim, aku wajib menghormatinya.

Apakah itu berlaku untuk semua habaib? Tidak juga. Sebagai manusia, kita punya perasaan yang membuat simpati pada kebaikan orang dan tidak suka pada keburukan orang, siapa pun dia.

Itulah salah satu hikmah, kenapa Nabi memerintahkan keturunan beliau untuk bertakwa. Lewat ucapan beliau, Nabi menyampaikan informasi tentang orang-orang yang sudah tercatat sebagai penduduk surga. Bukan ciri, tapi nama jelas!

Ada Abu Bakar, Thalhal, Zubair, dll. Tapi Nabi tidak menyebut mereka sebagai penghuni surga karena ikatan nasab, dan memang tidak semua mereka memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi Muhammad (saw).

Artinya, amalan seseorang tetap kembali pada orang tersebut, bukan tentang keturunan siapa dia. Walau pada kenyataannya, jika seseorang melakukan kesalahan, orang akan melihat pada garis keturunannya. Masa anak presiden begitu! Oh anak maling, pantes! Kira-kira begitu.

Baca juga: Inilah Alasan Nabi Melarang Meniup Makanan

Seorang Syarifah

"Kamu orang Seberang, ya?" tanya seorang bapak setelah aku lolos tes akademis untuk masuk SMA favorit masa itu.

Seberang adalah kawasan di Kota Jambi, bagian utara Sungai Batanghari yang mayoritas warganya merupakan penduduk asli Jambi. Suku Melayu yang ada di Seberang kebanyakan merupakan keturunan Arab.

"Bukan, Pak," jawabku.

"Tapi syarifah?"

Aku tak menjawab, karena tak paham maksud ucapannya. Sejak dulu memang itulah namaku, kata seisi rumah, itu pilihan kakak sulung.

Ketika baru mengenal huruf, hanya nama panggilan yang sering kutulis di mana-mana. Tapi ketika masuk SD, kakakku memberi tau nama lengkapku yang membuatku begitu takjub. Hebatnya dia memberiku nama itu!

Tapi untuk pertama kalinya, setelah lebih dari 30 tahun menyandang nama itu. Aku justru malu.

Dalam sebuah perhelatan sastra, seorang perempuan mendekat. Senyumnya mengembang sejak dari jauh, padahal jelas kami tak saling kenal. Ternyata ia melihat namaku pada nametag.

"Assalamu'alaykum," sapanya. Perempuan Aceh itu bertingkah akrab, dan langsung duduk di sebelahku.

Kami ngobrol sedikit, kemudian ia langsung menuju poin pentingnya.

"Syarifah itu, cuma nama atau fam?"

"Oh, cuma nama," jawabku tetap hepi. Tapi dia tidak.

Wajahnya berubah 180 derajat. Bahkan aku mendapati ia buang muka, melengos. Kurang dari satu detik, beranjak menjauh.

Biasanya jika aku marah dan ada laptop di depanku, aku akan mengetik kata SABAR. Dengan huruf kapital berukuran besar, ditambah kalimat "Tenang, Tar. Tenang!" Tapi laptop ada di kamar hotel. Aku hanya mencorat-coret notebook di meja dengan tulisan yang kacau.

Bukan pikiranku yang kacau, tapi tulisanku memang jelek. Ya Nabi, keturunanmu lebih-lebih Bani Israil, tulisku waktu itu. Lebay sih, namanya juga orang emosi.

Dulu aku sering berseloroh, "Saya keturunan Timur Tengah." Dan orang-orang percaya. Padahal yang kumaksud, ibuku Jawa Timur, bapakku Jawa Tengah. Baru aku sadar, mereka percaya bahwa aku keturunan Timteng, karena nama depanku itu!

Baca juga: Sumber Hukum Islam Selain Al-Qur'an dan Sunnah

Menyayangi Habaib karena Rasulullah

Dalam salah satu ceramahnya, Buya Yahya, pimpinan Pondok Pesantren Al-Bahjah (lebih kurang) mengatakan, "Kalau seorang habib melakukan kekeliruan, pandanglah mereka seperti anak sendiri."

Berarti balik lagi ke kita. Yang suka nampol anak, ya sudah, gebukin sana! Tapi yang sayang pada anak, sesalah apa pun mereka, selalu ada pemakluman.

Begitulah, aku menanggapi kekhilafan si mbak dengan membandingkannya dengan kebiasaan yang sudah berpuluh-puluh tahun kita temui.

Ada orang dari suku tertentu yang tak mau, bahkan melarang anak keturunannya menikah dengan orang di luar sukunya. Ada yang membolehkan keluarganya menikah dengan suku lain, tapi mengecualikan suku tertentu. Dan masih banyak contoh lain lagi.

Terlepas dari apakah analogi kesukuan itu tepat atau tidak, yang jelas seorang muslim memang sepantasnya menghormati keturunan Rasulullah. Bukan karena si keturunan itu, tapi kita memandang pada buyutnya.

Kita mendapat pahala dari amalan kita, biarlah mereka mendapat ganjaran dari perbuatannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun