Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Penulis yang Tak Sudi Tulisannya Diedit

13 Oktober 2020   22:10 Diperbarui: 13 Oktober 2020   22:16 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Dan Counsell/Unsplash.com

Di salah satu komunitas menulis yang aku ikut tergabung di dalamnya, ada seorang anggota yang kritisnya luar biasa. Saking kritisnya, ia jadi jagoan debat.

Awalnya aku termasuk yang selalu berseberangan dengannya. Lebih tepatnya, ia suka berbeda sehingga memilih mendebat apa pun yang disarankan oleh siapa pun dalam rapat komunitas. Bahkan sampai hal yang awalnya ia setujui.

Yang terakhir itu, berdasarkan pengakuannya sendiri , setelah sekian banyak perdebatan yang memakan waktu sia-sia.

Untuk selanjutnya aku memilih mengabaikannya. Pada beberapa hal yang masuk dalam kewenanganku, kulanjutkan apa yang menjadi kebijakanku. Meski ia bolak-balik protes, karena apa pun memang diprotesnya.

Anggaplah namanya Ron. Sebenarnya, aku sudah mulai punya prasangka buruk pada saat pertama kali mengedit naskahnya. Ron marah ketikannya diubah, meski jelas tak mengubah makna yang ia maksudkan.

"Jangan ubah satu titik pun!" tegasnya.

Baca juga: Review Novel Tentang Rasisme

Memang, naskahnya minim saltik. Tapi admin PUEBI daring bisa nangis melihat tiap baris kalimatnya. Meski komunitas menulis, para penulis yang ada di dalamnya tidak semua menggunakan EBI sesuai KBBI.

Tapi ya nggak meleset-meleset amat! Misalnya kata "nggak" yang barusan kuketik. Di KBBI, yang ada adalah "enggak".

Biasanya aku menulis nggak. Menyadari KBBI memuat enggak, aku pun ikut. Tapi rasanya kurang sreg, maka di blog kutulis nggak.

Ketika di Kompasiana, dalam sebuah artikel kutulis kata enggak, karena mengira admin patuh PUEBI. Ternyata justru diubah menjadi nggak, ketika naik sebagai Artikel Utama.

Artinya aku dan admin sehati. Bukan, artinya kami sama-sama punya gaya selingkung, yang itu berlaku di wilayah kami. Insyaallah tidak terlalu menganggu mata pembaca juga, kan?

Berbeda dengan Ron. Jika ia menulis kata "Pak Kudis" yang itu maksudnya kepala desa, maka tak ada satu orang pun yang boleh mengganti kudis jadi kades.

Ketika ia menutup dialog dengan kutip lalu titik, bukan sebaliknya, tak ada tangan yang boleh memperbaiki. Jika ia tulis "membaikin", jangan berani-berani mengubah jadi "memperbaiki" atau yang semisal.

Ron tak butuh, dan tak menerima jasa editor. Lebih baik naskahnya tidak ikut terbit bersama daripada diubah bukan oleh tangannya sendiri.

Mendapati hasil editanku disia-siakannya, kusadari Ron tidak sesuai dengan apa yang selama ini ia perlihatkan. Ron suka mengkritisi orang lain, tapi pada hal yang nyata keliru, ia tak mau menerima kesalahan.

Bukan karena merasa tak dihargai, aku lebih fokus bertahan. Ia suka mendebat, kutinggalkan perdebatan karena paham seperti apa "musuhnya". Ia tidak mencari kebenaran, tapi berupaya nampak benar.

Jadi ketika Ron bertahan pada naskah mentahnya, kubiarkan ia memeluk naskah itu. Kami naik cetak sendiri.

Setiap ia menolak pendapatku, aku abaikan. Kuanggap tak ada, sampai ia capek sendiri dan memilih mundur. Karena upayanya menggantikan posisiku justru ditentang seluruh anggota. Semua orang, kecuali aku.

Bertahun kemudian, Ron wara-wiri di media. Ia jadi wartawan di satu koran, kemudian pindah ke koran lainnya.

Baca juga: Ubah Naskah Drama Menjadi Cerpen

Aku turut senang, barangkali ada yang berhasil merayu Ron, sehingga ia mau artikelnya diperbaiki dulu sebelum naik cetak. Kalau di komunitas, ia boleh bertahan. Di tempat ia menggali isi periuk, harusnya tidak bisa.

Sampai beberapa pekan lalu, seorang teman lama di komunitas itu mengirimiku sebuah artikel berita. Kami lama tak bertemu karena sama-sama tidak lagi aktif di komunitas tersebut. Tapi kami sama-sama mengenal Ron, meski hanya aku yang selalu jadi rival si pendebat itu.

Kata temanku ini, "Cobalah temanmu itu diajari nulis yang bener. Masa nulis berita kayak nulis SMS."

Kulihat gambar hasil tangkapan layar. Tertera laporan, "Dia lari dikejar polisi, terus polisi menangkapnya. Lalu dia di tanya-tanya, katanya ada orang yang menyuruh dia pada polisi."

Ternyata keras kepalanya masih ....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun