Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Small Great Things dan Rasisme ala Indonesia

12 Oktober 2020   21:25 Diperbarui: 12 Oktober 2020   21:31 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
small great things jodi picoult (dokpri)

Siapa tak kenal Jodi Picoult, novelis Amerika yang karyanya mendunia. Salah satu novelnya yang menjadi koleksiku adalah Small Great Things.

Kebiasaan sejak lama. Ketika ada promo buku, beli beberapa, biarkan mereka antre menunggu giliran dibaca. Dan kini, buku 600-an halaman itu mendapat gilirannya.

Small Great Things bercerita tentang Ruth Jefferson, seorang perawat yang bekerja lebih dari 20 tahun di Rumah Sakit Mercy-West Haven. Ia satu-satunya pegawai kulit hitam di bagian persalinan.

Suatu hari, seorang pasien dari komunitas supremasi kulit putih melahirkan di rumah sakit tempat Ruth bekerja. Ketika Ruth menggantikan tugas rekannya, sesuai jadwal jaga, ia mengalami penolakan dari orangtua bayi.

Bahkan untuk selanjutnya, suami dan ayah pasien, Turk Bauer, meminta kepada pihak RS agar bayinya tidak disentuh oleh pegawai Afrika-Amerika. Parahnya, permintaan itu dipenuhi.

Menurut Jodi Picoult dalam penutup novelnya, bagian tersebut terinspirasi sebuah kejadian nyata di sebuah RS di Amerika. Yang mana pihak RS memenuhi  permintaan salah seorang pasien agar tidak dilayani oleh pegawai berkulit hitam.

Para pegawai Afrika-Amerika di RS tersebut kemudian mengajukan gugatan ke pengadilan, dan memenangkannya.

Baca juga: Pengalaman Nyata Bertemu Hantu

Dalam Small Great Things, Ruth Jefferson tidak menggugat. Ia justru didakwa membunuh bayi yang baru dilahirkan tersebut, karena sang bayi meninggal dunia saat berada dalam pengawasannya.

Seorang pengacara negara, Kennedy McQuarrie, menjadi pembela Ruth di persidangan. Kennedy yakin, untuk bisa bebas, Ruth tak boleh membawa isu rasisme. Sebab berdasarkan pengalaman Kennedy dalam banyak persidangan, isu rasisme hanya akan menjatuhkan kliennya pada kekalahan.

Menurut Kennedy, yang sebenarnya adalah ungkapan hati penulisnya, rasisme di Amerika adalah nyata, bahkan hingga sekarang (novel tsb terbit tahun 2016). Saking terbiasa, orang-orang kulit putih di sana melakukannya tanpa merasa bahwa mereka rasis.

Orang kulit berwarna, terutama Afrika-Amerika, seperti kebas dengan perlakuan yang mereka dapat, meski jelas berbeda dengan warga kulit putih.

Contohnya mendiang ibu Ruth, yang telah 50 tahun bekerja pada keluarga Ms Mina. Menurut majikannya yang kulit putih, ibu Ruth sudah dianggap keluarga oleh mereka. Konyolnya, "keluarga" bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga, mengenakan seragam asisten rumah tangga.

Maka Ruth bersikeras membawa isu rasisme dalam persidangannya, meski mengandung risiko besar. Pada akhirnya, Kennedy mengakui apa yang dirasakan Ruth setelah ia berbelanja bersama Ruth dan berjalan-jalan sendirian di lingkungan kulit hitam.

Apalagi terkait tuntutan, akan lebih tepat jika Turk Bauer menuntut RS Mercy-West Haven, karena bukti yang ada lebih mengarah pada keterlambatan hasil diagnosis.

Dan pihak RS sendiri lebih suka mengorbankan Ruth, alih-alih membela pegawainya. Perawat terbaik yang telah bekerja lebih dari 20 tahun di sana.

Novel ini nyaris tanpa cela, kecuali terjemahannya yang makin ke belakang makin kacau diterpa saltik. Ditambah autocorrect bahasa Inggris, menyebabkan beberapa kata membentuk kalimat tak keruan.

Iseng saja, aku membandingkan rasisme di Amerika dengan di Indonesia. Menurutku pribadi, soal suku tak ada masalah. Meski stigma negatif kerap menimpa suku mana saja. Dan itu adilnya, kita semua punya stigma negatif.

Misalnya orang Padang pelit, orang Sunda centil, orang Melayu pemalas, mana saja suku, ada bagian negatifnya. Tapi disertai hal positif, misalnya orang Padang perantau ulung, orang Sunda lembut, orang Melayu ramah. Dst.

Namun kita juga memahami dan sama-sama yakin, itu semua hanya stigma. Semua kembali pada pribadi masing-masing, tak ada urusan dengan suku.   

Baca juga: Review Novel Lainnya

Sama seperti Amerika, masalah kita juga bukan soal pribumi atau nonpribumi. Kalaupun semarin sempat ramai, itu hanya isu tunggangan kepentingan politik. Toh, orang kulit putih juga bukan pemilik tanah Amerika. Ada Indian yang nyaris tersisa kisahnya saja.

Ternyata sedikit persamaan kita adalah soal warna kulit, yang itu bukan hanya masalah Amerika, atau negara, bahkan benua lain di dunia ini. Satu suku sekalipun, di Indonesia, bisa beda kasta.

Ruang problem kita beda. Bukan ras, tapi standar kecantikan yang kadung memuliakan manusia dengan warna kulit yang lebih terang. Body shaming, ujungnya.

Di Twitter, beberapa warganet sambung menyambung status melewati timeline-ku. Salah satunya, entah bangga atau kesal berkata, "Orang pada kaget, kok aku putih. Gak kayak orang ***** yang biasanya."

Yang dia sebut memang suku, tapi yang menonjol adalah warna kulit. Itu satu dari jutaan contoh lainnya.     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun