Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hujan dan Fobia yang Turun Bersamanya

6 Oktober 2020   14:10 Diperbarui: 8 Oktober 2020   17:49 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi hujan. (sumber: unsplash.com/@ak1-Anna Atkins)

Musim hujan datang. Aku bukan penikmat hujan, juga bukan penghujatnya. Biasa saja. Yang kubenci adalah angin ribut.

Semasa kecil dulu tidak pernah begini. Tapi sekarang, setiap hujan baru dimulai, anginnya berdesing-desing mengerikan.

Ada kalanya air hujan terlihat horizontal. Jangan coba-coba berpayung di luar, dijamin payungmu rusak atau terbang tak terjangkau.

Trauma Angin dan Banjir

Awal 2000, aku punya pengalaman menyedihkan terkait angin (mungkin) puting beliung. Hari itu aku ada janji dengan teman. Cuaca sebenarnya cukup terang, tapi dari kejauhan memang nampak awan hitam. Tetap saja aku bersiap, toh mendung tak berarti hujan, seperti kata lagu jadul.

Tau-tau, hujan turun. Ya sudah, tunggu saja hingga reda. Baru beberapa menit dari mulainya hujan, terdengar suara  angin meraung-raung. Waktu itu aku berdiri di antara ruang tamu dan lorong menuju dapur.

Pintu yang tertutup (tapi tidak diselot) itu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Angin menabrakku hingga terdorong ke belakang. Aku berlindung di balik dinding antara kamar dan ruang tamu.

Angin yang mengamuk itu lalu mengangkat atap rumah hingga membuka seluruhnya. Hujan membanjiri ruang tamu yang terang benderang karena tak ada lagi batas antara rumah dan langit.

Setelah hujan reda, diketahui ternyata bukan hanya rumahku yang jadi korban. Sebentar saja warga dan wartawan berdatangan. Disusul seorang pejabat kota, yang lalu menjanjikan bantuan bahan bangunan untuk memperbaiki rumah.

Lebih 10 tahun dari kejadian itu, hingga kini bantuan yang dijanjikan tak pernah sampai. Sebagai manusia Indonesia, kami sudah hafal.

Kejadian yang mirip dialami pula oleh Kakakku. Jika sedang hujan, ia mengaku tak bisa makan. Hatinya diliputi kecemasan karena berkali-kali berurusan dengan banjir.

Bahkan Kakakku yang lain, yang bertetangga dengannya, ikut-ikutan cemas. Pernah sekali waktu kami berada di rumah orangtua, lalu turun hujan. Karena hujannya begitu deras, ia mengajakku pulang (dari 7 bersaudara, kami bertetangga bertiga).

Dalam perjalanan di mobil, aku bingung. Kakakku ini mengkhawatirkan mobilnya yang belum dimasukkan. Nah, mobil itu model boks bermuatan. Lah apa kuat air membawa mobil sebesar itu?

Sementara aku mengkhawatirkan ibuku di rumahnya, tempat dulu aku ditabrak angin. Semoga angin itu tak mengulangi kedatangannya, meski Kakakku yang lain sekarang ada di sana. Setidaknya kalau terjadi lagi, Mamak ada yang menjaga.

Ternyata hujan memang tak main-main, di sepanjang perjalanan kami, beberapa dataran rendah berubah menjadi kolam. Air yang mengalir dari penurunan seolah berlari karena tekanan arus. Belum lagi yang melimpah dari riol, seperti bah dalam ukuran kecil.

Tiba di daerah rumah kami, hanya ada gerimis tipis. Bercandamu tak lucu, Langit!

Meski demikian, tak terlalu mengherankan memang jika dua kakakku trauma dengan hujan. "Kalo hujan deras kamu enak tidur nyenyak, aku ngangkatin barang samo anak-anak," keluh salah satunya.

Ia tidak tau bahwa jika angin berdesing aku pun tak bisa tidur. Berusaha memutus bayangan kekhawatiran yang berlebihan sembari berdoa, bahkan jika hujan berangin terjadi di tengah malam, aku kerap terbangun.

Astrafobia

Tapi trauma yang kami alami tak separah apa yang disebut dengan astrafobia, yakni fobia terhadap petir yang mengakibatkan penderitanya cemas berlebihan, bahkan sebelum hujan turun.

Orang dengan astrafobia bisa ketakutan setengah mati jika mendengar petir. Mereka memejamkan mata, berselimut, hingga bersembunyi di bawah tempat tidur.

Tak sampai di situ, penderita astrafobia bisa berkeringat dingin saat tau hari akan hujan. Mual, jantung berdebar kencang, bahkan hingga kesulitan bernapas.

Sebelum keluar rumah, orang dengan astrafobia merasa perlu melihat perkiraan cuaca. Mereka tak mau mengambil risiko melihat petir di jalan. Benar juga sih, daripada pingsan di luar, pasti lebih berbahaya.

Menurut laman hellosehat, fobia apa pun umumnya disebabkan oleh trauma. Baik yang dialami langsung oleh si penderita maupun dari apa yang dilihatnya terjadi pada orang lain.

Pada kasus Kakakku yang tidak terdampak banjir, ia ikut cemas ketika hujan karena melihat rumah adiknya kebanjiran. Orang yang pernah melihat orang lain disambar petir juga bisa mengalami astrafobia, meski ia sendiri bukan korban.    

Masih menurut sumber yang sama, fobia dapat disembuhkan sendiri oleh penderitanya dengan cara melawan ketakutan itu. Hadapi fobia secara perlahan dan bertahap. Berpikir positif dan rileks, persepsikan bahwa dirimu kuat dan mampu.

Alhamdulillah Kakakku sembuh dari traumanya (entah sudah masuk fobia hujan atau tidak). Obatnya? Dia meninggikan lantai rumah sampai tiga kali! 

Baca juga: Eccedentesiast, Wajah Tersenyum tapi Hati Menangis

Baca juga: Chat WA dari Nomor Tak Dikenal Bikin Donatur Enggan Donasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun