Sejak kecil aku tak pernah bercita-cita jadi artis. Gak pantes juga. Tapi faktor yang paling mungkin adalah aku tidak terpapar TV sejak lahir.
Kakak sulung yang disebut kakak-kakak yang lain sebagai Mak Tiri, sangat idealis. Alih-alih nonton, setiap hari aku dijejali buku. Sebelum punya kartu pelajar aku sudah punya kartu perpustakaan.
Tak heran cita-citaku dulu adalah astronot. Tapi oleh buku dan majalah yang kubaca, dipatah-patahkan soal bulan pernah didatangi manusia.
Amerika itu bohong, benderanya kok goyang, dll teori yang membuatku mumet dan akhirnya memutuskan pengin jadi guru.
Kenapa guru? Karena guru di SD-ku dulu bisa mendapatkan apa saja dengan kuasanya. Mereka tak perlu jalan ke warung untuk membeli sayur, cukup panggil satu dua siswa, beri catatan.
Sapu di rumah patah, mereka pesan di mata pelajaran Kesenian. Tak hanya sapu, lap, kemoceng, strimin, dsb, boleh beli di pasar, alih-alih buat di kelas atau dikerjakan di rumah. "Karya terbaik" adalah yang dibawa pulang guru.
Yang cukup baik jadi barang kelas. Yang disuruh bawa pulang lagi berarti tidak "lolos seleksi". Maaf Bapak/Ibu Guru, itu bukan Anda.
Itu guruku zaman SD dulu, tahun 90-an. Tahun ajaran kemarin, sebelum pandemi, keponakan yang sekolah di SD yang sama dapat kabar. Wali kelas mereka ulang tahun, pesannya, bawalah kado terbaik!
Lain Dulu Lain Sekarang, Lain Mak Lain Anak
Anak-anakku, sebagai generasi yang terpapar teknologi, sejak bayi sudah kenal HP. Iya, aku orangtua yang payah.
Setiap hari bapak mak dua anak itu berurusan dengan komputer dan HP, otomatis anak-anak ikut. Tapi masih ada sisa kewarasan yang membuatku menahan mereka dengan tagihan setoran hafalan atau tidur siang sebelum menjamah gawai.
Mereka memang tidak terlalu tertarik dengan TV. Entah kapan terakhir kali kami menyalakannya, benda itu teronggok di lantai kamar anak, di bagian sudut.