Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Jangan Berteriak di Tulisan!

23 September 2020   14:17 Diperbarui: 23 September 2020   14:25 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tanda seru yang menggebu-gebu (dok. Syarifah Lestari)

Mengapa sering kali orang menuliskan nomor HP dengan jeda setelah 4 angka? Jawaban paling umum adalah agar mudah diingat.

Bagaimana cara seseorang mengingat angka? Aku pribadi melakukannya dengan membunyikan di hati. Ditambah mengabaikan 4 angka di depan, karena sudah mengenal angka khas nomor HP itu.

Kamu mungkin melakukan hal yang sama, atau punya cara lain. Untuk nomor KTP, kugunakan cara yang sama. Tapi banyak teman yang tak berhasil. Mungkin mereka memang tak niat saja.

Aku menghafalnya karena tau diri sering lupa meletakkan KTP di mana. Aku juga malas membawa dompet ke mana-mana. Sekalinya bawa, tak ada pula KTP-nya. Tercecer entah di tas selempang atau di ransel.

Baca juga: Antara Menulis dan Meletakkan Upil

Tapi kita tidak membahas angka maupun metode mengingatnya. Aku hanya tergelitik membahas tanda baca, gara-gara melihat pemberitahuan di bilik ATM, saat keluar dari sebuah swalayan.

Pada kaca yang menghadap ke jalan, tertulis: Dilarang masuk menggunakan helm!!! Di area ATM!

Meski aku bukan ahli bahasa, jelas terasa kejanggalannya ketika dibunyikan. Mungkin lebih tepat jika ditulis "Harap melepas helm saat memasuki area ATM!"

Tidak ada orang yang masuk ke ATM menggunakan helm, kita semua menggunakan kaki. Lagi-lagi ini pun bukan membahas soal kerancuan kalimat. Di masyarakat, terlalu banyak contoh serupa.

Ada ruko yang tertulis "di kontrakan" padahal maksudnya "dikontrakkan". Ada warung yang menerima titipan kue tapi menulis "menerima kuwe", sudah kufoto tapi blur karena terlalu jauh. Mau mendekat tak enak hati.

Yang jadi masalah di hatiku yang lembut ini, halah, adalah tanda seru yang bertubi-tubi itu. Tulisan itu berbunyi bentakan di benakku. Baper? Iya!

Gara-gara istilah baper, kita jadi tak boleh tersinggung, begitu kata temanku. Mirip yang diungkapkan Sujiwo Tejo tentang kepo, yang membuat orang jadi sungkan untuk peduli.

Aku tersinggung jika membaca chat yang diakhiri "tanda pentung" lebih dari satu. Seperti dicap bebal, tau tidak!!

Jika diminta mengedit naskah fiksi, kemudian salah satu tokoh dituliskan berucap menggunakan kapital secara keseluruhan, maka kuganti dengan huruf kapital hanya di awal saja. Kalau tak suka ya cari editor lain.

Kuberi keterangan bahwa si tokoh berteriak, itu terasa lebih ramah ketimbang membunyikan dialog dengan kapital. Karena pada posisi pembaca, aku merasa budek dibuat teks itu.

Begitu pula dengan tanda tanya dan tanda seru yang lebih dari satu, kuhapus saja kelebihannya.

Beda perlakuan jika tanda baca yang berlebih itu berupa titik tiga di ujung kalimat. Bila dimaksudkan untuk sesuatu yang belum usai, justru kutambahkan satu titik lagi. Tak usah tanya kenapa, begitu petunjuk menurut PUEBI (pedoman umum bahasa Indonesia).

Tapi jika titik tiga itu selalu ada di tiap akhir kalimat, ya kupangkas juga. Malah terkesan seperti soal esai, isilah titik-titik berikut ini!

Baca juga: Dibutuhkan Cerpen Singkat!

Apakah setiap menulis harus sesuai EBI? Tidak juga. Maksudnya, aku tidak selalu begitu. Tergantung suasana hati, aku tak suka tertekan.

Yang penting aku berusaha menyajikan kalimat-kalimat yang tidak rancu, sebagaimana aku terganggu jika membaca kalimat tak jelas juntrungan. Apalagi dengan tanda baca yang diterjemahkan otakku dengan bentakan atau teriakan.

Jika Gramedia dan Mizan punya gaya selingkung sendiri, begitulah yang berlaku di blog-ku, dan beberapa platform yang menyilakanku bertindak sesuka hati. Kompasiana salah satunya.

Aku tak suka menulis tau dengan tahu, karena tahu adalah makanan kesukaanku. Bikin lapar. Aku lebih suka menulis Assalamu'alaykum ketimbang Assalamualaikum, karena di sapaan itu ada 'ain dan ya, bukan hamzah.

Itu aku. Kamu ya terserah.

Kamu boleh saltik, asal tak lebay. Tapi jangan menulis kalimat tak keruan maksud, atau dengan tanda baca yang membuat benakku cerewet membenahinya.

Jika sudah begitu, biasanya aku lebih pilih menyudahi aktivitas membaca. Sayang kan, kamu capek-capek mikir, tapi maksud tak tersampaikan.

Kesannya kok sombong banget ya aku kali ini! Semua gara-gara helm.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun