Waktu kecil, kata "banjir" punya makna positif di kepalaku. Yang terbayang adalah sungai. Banjir berarti anak-anak bisa main air, bahkan berenang.
Rumahku berada di dataran tinggi, hanya ada parit ala kadarnya. Setiap hujan, airnya hilang begitu saja.
Di Jambi Kota Seberang, rumah-rumah dibuat berbentuk panggung. Kata Mamak, itu karena mereka sering kebanjiran. Dalam perjalanan, dari dalam angkot, kulihat yang namanya sungai. Jadi kupikir banjir adalah perkampungan penduduk menjadi sungai, dan orang bersenang-senang.
Antara 2003 akhir atau awal 2004, untuk pertama kalinya aku melihat yang namanya banjir secara langsung, di depan mata. Dan saat itu aku baru saja jadi mahasiswa, bukan anak-anak lagi.
Nostalgia Nyamannya Tahun 90-an
Bukan sekadar karena masih bocah, dengan beban hidup hanya PR. Bagi kebanyakan milienial dari generasi Y, tahun 90-an tentu merupakan masa terindah.
Mataharinya ramah, hujannya ramah. Upacara bendera atau senam pagi hari di sekolah terasa hangat (tidak panas), mandi hujan tak khawatir badai.
Banjir hanya ada di TV, dan kami tak punya TV. Aku tak paham lawakan mendiang Benyamin Sueb dan Warkop, jadi tak juga berminat numpang nonton di rumah tetangga.
Di Bobo dan Ananda, yang tertulis umumnya tentang Indonesia gemah ripah loh jinawi. Kakakku sering membaca Nova, lalu membuat kliping resep. Dari Intisari, yang sering kubaca adalah teka-teki detektif di halaman belakang.
Baca juga: Ini yang Disebut Orang Jambi "Besak Ota"
Ada juga Matra yang isinya kebanyakan foto, aku tak begitu ingat. Dari Majalah Humor yang kukenang hanya karikatur Gusdur dan bahasan soal santet. Konon, orang yang banyak tertawa tidak bisa disantet.
Analisisku sekarang, bukan tak bisa disantet. Tapi siapa juga yang mau nyantet orang gila.