Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kita Semua Memelihara Maling

1 September 2020   15:20 Diperbarui: 4 September 2020   05:57 1189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mencari "data korupsi Indonesia" di Google pada akhirnya kudapati beberapa berita yang intinya sama, penindakan kasus korupsi menurun sejak 2017.

Apakah maksudnya kasus korupsi menurun? Iya. Jumlah yang ketahuan. Artinya koruptornya makin pintar, mirip video hewan yang sering tayang di akun lucu-lucuan. Ada kucing yang dikejar-kejar tikus. Lucu tapi miris.

Dan kita yang membaca atau menonton berita terkait korupsi seperti sudah kebas, tidak ada yang mengherankan. Karena korupsi pada dasarnya dekat dengan kita. meski mungkin bukan kita yang melakukan, tapi kita memeliharanya.

Blogger Maling

Sebagai penulis receh terasa banget betapa menye-menyenya aku ketika artikelku dijiplak orang. Mengadu ke grup blogger malah diketawain, curhat ke salah satu platform menulis malah dibilang banyak ngeluh, lapor ke Google endingnya gak jelas. Yang di Instagram juga malah panjang banget aturannya.

"Kalo aku ya gak masalah sih, ambil aja artikelku! Siapa yang mau, ayo silakan copas!" kata salah seorang di grup blogger. Di grup penulis konten lebih kurang begitu, "Ikhlasin ajalah, Mbak!" kata admin. Ngobrol dengan sesama kreator pun, dijawab santai, "Haha, biasa itu!"

Sisi hati yang baik berkata, "Sabar ... lumayan buat ngurang-ngurangi dosa. Tuh, yang lain juga sudah biasa dicolong artikelnya." Sisi sebaliknya berbisik, "Jangan-jangan mereka santuy karena biasa nyolong juga." Hus! Entah sisi bagian mana yang melerai keributan di kepalaku.

Setiap hendak ku-remake artikel dari "mendiang" UC News untuk dipajang di blog sendiri maupun platform lain, tahu-tahu artikel tersebut sudah berpunya. Seolah aku yang hendak mencuri karyaku sendiri.

Meski hasil rewrite, aku biasanya tidak menulis artikel dari Google Translate mentah-mentah. Selain menerjemahkan dengan bahasa yang lebih manusiawi, informasi yang kudapat masih diperkuat dengan referensi lain.

Selain itu, pada akhir artikel seringnya kucantumkan sumber utama dan pendukung. Selebihnya pembaca akan tahu bahwa itu adalah opini pribadi, terlihat jelas dari gaya bahasa yang kupakai.

Apa lacur, para pemilik akun Instagram dan blogger maling tanpa akal dan hati yang cukup, tinggal salin-tempel tanpa tambahan kata secuil pun. Alih-alih menuliskan sumber.

Dan itulah respons penulis lain. Biasa. Tulis aja lagi. Tanpa diajari juga aku memang akan menulis lagi. Tapi masalahnya bukan itu. Kesalahan yang dianggap biasa, inilah yang kemudian menjadi tabiat kita semua.

Pedagang Kembang Tahu

Panas terik di siang hari, terdengar suara mangkuk beradu dengan sendok di jalan depan rumah. Tahulah kami, penjual kembang tahu tengah melintas.

Sering kali tanpa ada yang meminta, aku atau suami membelinya untuk anak-anak. Tujuannya untuk menyemangati para pedagang. Mereka adalah pekerja keras yang memilih terus berusaha di bawah terik Kota Jambi yang panasnya bikin perih kulit (coba sendiri kalau tak percaya!).

Pada salah satu momen sebelum pandemi itu, mbahnya anak-anak kemudian memberi tahu. "Jangan beli ke mamang yang itu! Dio suko ngolokin budak."

Maksudnya, penjual kembang tahu yang itu suka ngerjain orang yang membeli dagangannya. Menurut Mbah, sedikitnya dua kali ia mendapati penjual kembang tahu yang ditandainya itu menipu. Cucunya hanya memesan satu mangkuk ditagihnya dua.

Bocah-bocah hanya membeli 2000, dia bilang 4000. Yang awalnya membeli karena kasihan, pada akhirnya Mbah justru jengkel pada pedagang itu. Bukan tanpa bukti, Mbah melihat di balik jendela yang kacanya dari luar terlihat gelap.

Sama seperti yang kurasakan ketika artikelku dicolong orang. Nilai kerugiannya terbilang kecil, tapi bukan itu yang mengganjal di hati. Lagi pula, hanya dua ribu perak, jadi kebiasaan buruk yang bisa-bisa dibawa seumur hidup.   

Korupsi Jam Hadir

Yang ini terjadi dulu sekali, waktu aku masih jadi orang kantoran. Absen manual ada di mejaku. Setiap karyawan yang datang menuliskan jam hadir di kolom yang tersedia, sesuai angka pada jam dinding di ruangan tersebut.

Aku tak pernah memperhatikan siapa yang masuk dan angka berapa yang mereka tulis. Tapi beberapa karyawan lain ternyata melakukan sebaliknya.

Mungkin karena sudah tak tahan, seseorang kemudian pagi-pagi menyempatkan diri ngobrol denganku. "Tahu kan kalau si X sering datang belakangan?" Aku mengangguk. "Coba lihat absennya!"

Kubuka daftar hadir. "Mungkin belakangan, tapi dak telat," jawabku. Karena pada nama X rata-rata yang tertulis adalah "7.45", batas akhir jam datang agar gaji tidak dikenakan potongan.

"Nah, kita tengok nanti ya! Kami semua sudah menandai," balasnya dilanjut menyebutkan nama-nama yang ia sebut "kami".

Ketika X datang, teman yang mengadu tadi sengaja keluar dari ruanganku. Aku sendiri pura-pura sibuk dengan hal lain. Sebelumnya telah kami lihat pukul berapa yang terlihat di jam dinding.

Benar saja, meski telah lewat 5 menit ketika X tiba di parkiran, di kolom absen ia menuliskan tepat pukul 7.45 WIB. Bahwa datang jauh sebelum jam kerja tidak mendapat reward tapi datang terlambat mendapat "hukuman", itu semua memang kami protes. Tapi tidak dengan begini cara membalasnya.

Kalau semua karyawan kompak berbohong untuk memberi pelajaran pada bos, aku mungkin tetap tak setuju. Apalagi rekan kerja lain yang sangat-sangat religius, mereka pasti menolak keras. Aku tidak religius, tapi curang hanya demi sekian ribu, kok rasanya ngenes.

Tapi ya begitu, X terus dengan kebiasaannya tanpa ada yang melapor. Termasuk aku. Dan pada akhirnya kita semua mengerti, di mana-mana maling bertebaran. Sedangkan kita adalah pemelihara mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun