Gara-gara komentar salah seorang kompasianer di artikelku sebelumnya, jadi teringat sebuah pengalaman yang entah lucu entah ngeselin.
Sebelum memutuskan jadi freelancer, aku adalah kuli yang kerja dengan sepenuh hati (tadinya) dengan job description dan fakta lapangan berbeda jauh.
Di awal perjanjian sampai update SK tiap semester tertulis: jam kerja pukul 7:45-12:00 WIB hari Senin-Jumat. Nyatanya, pekerjaan sudah dimulai sejak tiba di kantor bahkan sampai malam.
Karena kerjaan sering jadi oleh-oleh di rumah. Sabtu dan Ahad pun sering dipakai kerja jika ada kegiatan. Kadang dibonus, kadang dapat ucapan terima kasih saja.
Semua kunikmati, karena banyak ilmunya. Setidaknya ada 6 tugas yang kuhandle dengan gaji hanya dari dua pos. Teman seruangan yang baru bergabung beberapa bulan sampai geleng-geleng, "Gaji kamu harusnya tiga kali lebih dari yang sekarang! Dan itu minimal."
Aku ketawa saja. Namanya hidup, kadang harapan dan kenyataan memang jauh. Teori dan praktik sudah biasa tak sejalan. Asal hatiku senang, aku tidak tertekan, ya nikmati saja. Toh rezeki tak melulu berupa duit.
Bertemu banyak orang baik, interaksi dan silaturahmi dengan orang-orang positif. Ada efek sehat, ada efek gembira, dan macam-macam manfaat kudapat. Jadi begitulah, nikmati saja terus.
Tapi nikmat itu tiba-tiba dirampas oleh seseorang yang "unik" sekali cara kerjanya.
Ia diterima sebagai office boy dengan jam kerja pukul 6:30-12:00 WIB hari Senin-Sabtu. Sejak awal, cara kerja si bapak memang rada nyeleneh.
Ia datang pukul 8 lewat, seringnya dijemput dulu oleh karyawan lain. Kebetulan rumahnya dekat dengan kantor. Maka sejak ia jadi office boy, karyawan dengan inisiatif sendiri bergantian menjemputnya.
Dari pertama aku sudah tak setuju, karena hal tersebut hanya akan memanjakannya. Tapi semua teman tak keberatan, malah aku diminta maklum.
"Wonge ra kebak," kata salah seorang teman. "Sing pinter yo ngalah!"
Ya deh, sebagai yang "normal" aku ikut saja. Kadang gayaku yang sok konsisten dan berintegritas memang dianggap sombong oleh orang-orang. Daripada makin dianggap sok hebat kan, ya sudah, aku malah ikut jemput si office boy spesial itu.
Tak cukup dijemput sekali, si bapak malah berulah. Setiap pukul 10 pagi kulihat dia mengendap-endap pulang. Yang akhirnya urusan bersih-bersih harus ditanggung karyawan lain. Atau kalau mau, ya jemput lagi si office boy.
Dengan alasan susah mencari ganti, kami semua diminta bersabar dan lagi-lagi, maklum.
"Bapak itu rada kurang nalarnyo, Tari. Sabar, ya!" kata salah seorang atasan.
Sabar tak sabar, memangnya ada pilihan? Oke kita lanjut jalani hari dengan jemput office boy, nyapu ruangan sendiri (karena dia belum datang), dan pergi fotokopi berkas sendiri. Alih-alih dibuatkan kopi oleh office boy seperti di film-film.
Suatu pagi, akhirnya tensiku naik juga ke ubun-ubun. Sedang aku menyapu ruangan, si office boy datang. Hari itu aku memang tak niat menjemputnya, biarlah sampai bos datang. Biar dia sendiri yang jemput karyawan emasnya itu.
Aku tahu ia di belakangku, dan kupikir akan mengambil alih tugas yang sebenarnya miliknya. Prasangkaku kelewat baik. Alih-alih minta maaf dan mengambil sapu dari tanganku. Dia malah kabur!
Wanjir. Kususul dia ke belakang, sudah tak ada. Kucari-cari keliling kantor tak juga ditemukan. Sepanjang pencarianku, pemandangan yang kudapat adalah teman-teman yang sibuk membersihkan ruangannya sendiri.
"Tadi lewatlah, sekarang entah," kata yang satu.
"Sudahlah, anggap be dak ado," kata yang lain, karena putus asa dengan tingkahnya.
Rasanya seperti dia datang hanya untuk mengontrol kami, apa pekerjaannya sudah kami kerjakan? Sampai kembali lagi ke ruanganku sendiri, aku tak menemukannya.
Mungkin hari itu emosiku lebay, sehingga ada "tokoh pahlawan" yang menyampaikan ke bos. Jadilah aku disidang karena mungkin dianggap tak punya empati pada orang yang lemah akalnya.
"Runtuh harga dirimu cuma gara-gara nyapu?" begitu pertanyaan yang diajukan padaku. Harusnya lidah si bos bisa dipakai memotong bumbu mi instan. Tajam.
"Bukan masalah harga diri. Nyapu tidak ada di jobdesc," jawabku. Lupa bahwa ada satu folio daftar kerjaan yang juga tak ada di jobdesc-ku.
Kemudian panjanglah omelan, lengkap dengan ekspresi yang entahlah banget di ruangan itu. Ternyata, karena aku bisa menyapu, harusnya aku menikmati kerja nyapu.
Bukankah bertahun-tahun begitu? Hanya aku yang bisa mengotak-atik rumus excel, makanya aku yang menghitung. Cuma aku di sana yang bisa desain, jadinya aku yang desain ini itu. Karena aku paham kata baku, aku yang bikin surat.
Aku yang familier dengan internet, makanya aku pula yang selama itu jadi operator. Aku yang tahu jenis-jenis kertas, aku yang cari. Makanya, jangan terlalu banyak tahu! Jadilah "lugu" seperti office boy itu.
Sampai lima tahun setelah aku resign, masih ada yang tanya soal aplikasi, laporan keuangan, dll, minta bantuanku menyelesaikan. Aku masih nunggu loh, bos mereka yang menghubungi. Janji deh bakal kubantu!
"Runtuh harga dirimu minta tolong mantan karyawan?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H