Sudah jadi pemandangan biasa kalau aku memasuki kelas hanya mengenakan sandal. Jadi teman-teman juga sudah paham bahwa aku akan ada di barisan belakang, nomor dua atau tiga dari akhir. Iya, menutupi kaki.
Di kelas yang perempuannya hanya dua biji itu, aku tergolong mahasiswa yang baik (klaim sepihak). Jadi sekadar melihat mukaku ada di kelas, dosen tak perlu melihat ke bawah.
Sekali waktu, di mata kuliah tipografi, aku terlambat memasuki kelas. Dan tumben, mahasiswanya lengkap. Kursi yang tersisa ada di bagian depan, yang karena tak ada pilihan lain, jadi aku duduk di situ.
Anehnya lagi, gerombolan teman-teman yang biasanya sama-sama numpuk di belakang denganku, kok sekarang semuanya di depan?
Kemudian masuklah dosen kesayangan kami. Usia beliau waktu itu 27 tahun, masih lajang. Tampilannya biasa, bahkan sangat tertutup. Dengan jilbab lebar dan tangan bermanset.
Meski dari tampilan terkesan kalem, dosen ini sangat tegas. Spidol dan penghapus biasa melayang jika ia kesal dengan mahasiswa yang berisik. Pakai sandal atau kaus oblong di kelas, pasti terusir.
Syukurnya aku selamat terus, termasuk hari itu. Mungkin jika aku diusir, temanku si Kokoi bakal jadi perempuan satu-satunya di kelas, selain bu dosen sendiri.
Karena jarak yang lebih dekat dari biasa, aku jadi bisa melihat lebih jelas ke wajah dosen tipografi itu. Hm, manis ya!
"Kalau dari dekat gini, jadi kelihatan manis ya Bu A. Padahal biasanya kulihat standar aja," kataku sekenanya pada teman di sebelah.
"Huu, telat lu, Tar!" jawabnya berbisik. "Gak liat lu, ini kelas penuh?"
Iya juga, pikirku. Kalau diingat-ingat, setiap mata kuliah ini, kelas memang nyaris selalu penuh. Padahal dosennya kan galak.
"Gue bayangin Bu A gak pake baju, masuk ke kamar gue ...." Bujang di sebelahku itu senyum-senyum dengan pandangan kosong, khas orang mengkhayal.
Sejak itu aku jadi rada paranoid kalau ada laki-laki yang melihat perempuan agak lama. Dan akhirnya tahulah aku kenapa perempuan memang sebaiknya tidak sering di luar apalagi berpakaian tidak "rapi".
Apakah otak semua laki-laki hanya berisi seks?
Tadinya aku berpikir begitu. Sebab ada laki-laki lain yang mengaminkan ucapan temanku tadi. Imajinasi mereka bisa menembus jauh melewati kain lebar tebal yang sudah menutupi aurat perempuan. Apalagi jika ditambah aroma wewangian yang sampai ke hidungnya.
Tapi menurut senior di pergaulan, tidak semua laki-laki begitu. Malah ketika ada yang menceritakan kisah versi lain tapi mirip dengan pengalamanku, teman yang lain lagi menjawab sambil tertawa, "Suamimu yang otaknya begitu!"
"Iya, karena suamiku gak biasa liat yang aneh-aneh di luar. Kalau suamimu kan sudah biasa. Coba cek HP-nya!" balasnya.
Nah loh! Tak mungkin kan kutunggu ending dari keributan mereka. Jadi kucoba cari tahu sendiri. Â Â
Menurut Dr Louann Brizendine, seorang ahli neuropsikiatris, otak laki-laki tidak sesimpel gambaran yang ada di benak kita selama ini. Yang mana lebih dari separuhnya hanya berisi seks.
Yang lebih tepat adalah, daerah pada otak laki-laki yang berurusan dengan seks berukuran 2,5 kali lebih besar dari otak perempuan. Jadi meskipun lebih nafsuan, mereka juga tetap pilih-pilih.
Selama melakukan seks sampai orgasme, tubuh akan melepas hormon dopamin dalam jumlah besar. Perasaan senang yang muncul sebagai efek dari pelepasan hormon ini akan kembali ke otak dan membuat seseorang menjadi ketagihan.
Sebenarnya serbasalah sih, jika disebutkan otak laki-laki memang lebih ngeres, nanti malah jadi pembenaran. Dianggap wajar jika selingkuh, akses materi porno, dsb.
Padahal sebesar-besar wilayah seks, sisanya kan masih lebih besar lagi. Itu akal dan agama, gak dipake, Pak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H