Melihat Topik Pilihan Kompasiana, iseng-iseng kuketik nama sebuah yayasan di kolom pencarian Google. Benar-benar di luar dugaan!
Kupikir nama itu akan muncul dengan tanggal dan tahun kedaluwarsa, berisi kisah masa lalu tentang para korban. Kemudian pengurus yayasan beserta komplotannya sudah dibui, yang beberapa di antaranya usai masa tahanan, keluar sebagai orang baik dan menulis kesaksian.
Jauh, jauh dari yang kukira. Yayasan itu bahkan masih eksis hingga kini!
Nama Yayasan A, pertama kudengar ketika berada di Cileungsi tahun 2002. Waktu itu nyaris satu kampung (aku lupa nama daerah tempat aku tinggal), tengah berbahagia menanti dana, yang kata mereka hingga miliaran.
Dana itu merupakan investasi dari orang-orang seisi kampung yang dibayarkan oleh salah seorang haji, orang terkaya di sana.
Pak Haji yang rumahnya paling mentereng memang terkenal sebagai orang kaya yang superdermawan. Di rumahnya ada tiga mobil, jika kamu sedang butuh hiburan jalan-jalan ke Jakarta, tinggal hubungi Pak Haji.
Pakai satu mobilnya, tak perlu diisi bensin bahkan sekadar dicuci. Pulangkan dalam keadaan kumal dan kosong, Pak Haji masih bisa tersenyum manis. Pinjam lagi besok, pasti dikasih.
Hanya istri dan keponakan-keponakannya yang misuh-misuh. Aku termasuk satu di antara sekian orang di rumah paling mewah itu, yang diangkatnya sebagai keponakan.
Aku tak tahu kapan tepatnya Pak Haji berinvestasi. Yang jelas, menurut kesaksian saudara-saudara beliau, termasuk para keponakan, satu kampung itu hanya mengirim fotokopi KTP. Dananya, Pak Haji yang siapkan.
Per orang dibayarkan 20 ribu rupiah, kali sekian orang, sejumlah penduduk sana. Dengan janji 1-2 miliar saat cair, siapa tak semringah membayangkannya.
Aku pun ditawarkan untuk ikut mendaftar, dan jujur ikut terpincut. Aku punya tiga KTP saat itu; KTP Jambi, KTP Bogor, dan KTP Jakarta. Jangan tanya bagaimana bisa, aku tak ingat.