Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kuhabiskan Sekian Purnama, Menanti Cairnya Dana Investasi

29 Juli 2020   13:10 Diperbarui: 29 Juli 2020   13:07 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melihat Topik Pilihan Kompasiana, iseng-iseng kuketik nama sebuah yayasan di kolom pencarian Google. Benar-benar di luar dugaan!

Kupikir nama itu akan muncul dengan tanggal dan tahun kedaluwarsa, berisi kisah masa lalu tentang para korban. Kemudian pengurus yayasan beserta komplotannya sudah dibui, yang beberapa di antaranya usai masa tahanan, keluar sebagai orang baik dan menulis kesaksian.

Jauh, jauh dari yang kukira. Yayasan itu bahkan masih eksis hingga kini!

Nama Yayasan A, pertama kudengar ketika berada di Cileungsi tahun 2002. Waktu itu nyaris satu kampung (aku lupa nama daerah tempat aku tinggal), tengah berbahagia menanti dana, yang kata mereka hingga miliaran.

Dana itu merupakan investasi dari orang-orang seisi kampung yang dibayarkan oleh salah seorang haji, orang terkaya di sana.

Pak Haji yang rumahnya paling mentereng memang terkenal sebagai orang kaya yang superdermawan. Di rumahnya ada tiga mobil, jika kamu sedang butuh hiburan jalan-jalan ke Jakarta, tinggal hubungi Pak Haji.

Pakai satu mobilnya, tak perlu diisi bensin bahkan sekadar dicuci. Pulangkan dalam keadaan kumal dan kosong, Pak Haji masih bisa tersenyum manis. Pinjam lagi besok, pasti dikasih.

Hanya istri dan keponakan-keponakannya yang misuh-misuh. Aku termasuk satu di antara sekian orang di rumah paling mewah itu, yang diangkatnya sebagai keponakan.

Aku tak tahu kapan tepatnya Pak Haji berinvestasi. Yang jelas, menurut kesaksian saudara-saudara beliau, termasuk para keponakan, satu kampung itu hanya mengirim fotokopi KTP. Dananya, Pak Haji yang siapkan.

Per orang dibayarkan 20 ribu rupiah, kali sekian orang, sejumlah penduduk sana. Dengan janji 1-2 miliar saat cair, siapa tak semringah membayangkannya.

Aku pun ditawarkan untuk ikut mendaftar, dan jujur ikut terpincut. Aku punya tiga KTP saat itu; KTP Jambi, KTP Bogor, dan KTP Jakarta. Jangan tanya bagaimana bisa, aku tak ingat.

Bayangkan, dengan tiga KTP, aku bisa jadi jutawan! Tapi entah siapa yang membisiki, aku disarankan menunggu kloter pertama cair dulu.

Lihat dulu, beneran gak mereka dapat hasil dari investasi itu? Kalau ketipu, kan malu. Dulu tak terpikir soal data, karena berita-berita pencurian data tak pernah muncul.

Yang ramai di TV adalah preman yang minta duit penumpang bus dengan modus ngamen, narkoba, judi sabung ayam, dll di berbagai channel TV dengan nama program yang mirip-mirip.

Berita tentang investasi bodong juga tak pernah terdengar, atau kami yang melewatkannya. Pernah kucari di internet, tapi tak banyak berita yang kudapat.

Akhirnya kupilih menunggu saja daripada ikut mendaftar. Semua orang di rumah itu berjanji akan memberiku sedikit bagian mereka jika benar dana itu cair.

Jadi kalau ada 5 orang yang menyumbang untukku, totalnya lumayan juga untuk modal kelayapan dari kopaja satu ke kopaja lain, sebagaimana yang sering kulakukan dulu.

Apalagi saudara-saudara di Tanah Abang, yang juga didaftar dan bayarkan oleh Pak Haji, ikut berjanji. Wah, tanpa namaku terdaftar sebagai investor, aku punya mimpi yang sama dengan mereka.

Aku ikut berdoa, ikut senang, ikut ngimpi. Lama-lama ... ikut sedih.

Sebab sejak aku menginjakkan kaki di Cileungsi, sampai hari ini, entah sudah berapa purnama, dana itu tak pernah cair.

Pak Haji bukan lagi tokoh masyarakat tersohor dengan rumah paling mentereng di sana. Sudah banyak orang kaya baru yang jauh lebih kaya, tapi semuanya bukan berkat investasi itu.

Anehnya, nama Yayasan A masih bisa ditelusuri, bahkan ada grup FB-nya yang terbuka dan aktif. Kulihat masih banyak orang-orang yang berharap atas nama keikhlasan dan ketabahan.

Mereka masih menunggu dana cair entah dari mana. Pengin nimbrung, menyadarkan kaum halu. Tapi dipikir-pikir, di masa pandemi ini, sepertinya harapan adalah salah satu obat tidur paling aman.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun