Tadinya aku tenang-tenang saja, membaca rilis dari Kemdikbud bahwa hanya daerah yang ditandai zona hijau yang memulai tahun ajaran baru secara tatap muka.
Itu pun dengan berbagai syarat, dan langkah-langkah bertahap dimulai dari jenjang pendidikan tertinggi. Jadi setidaknya, paling cepat anak-anak akan sekolah di September.
Tahu-tahu, setelah pengumuman beli buku dll, ada angket yang diminta wali murid mengisi. Salah satu pertanyaannya, bersediakah memberi izin ananda belajar secara luring? Lah, kota ini kan zona kuning?
Ah, kenapa dibikin sulit, tinggal isi "tidak bersedia". Ya sih, kuisi begitu. Dan akhirnya, yang terjadi kemudian, lebih parah dari sebelum libur kenaikan kelas.
WAG yang Berisik
Punya dua anak yang sekolah di kelas dan sekolah berbeda, untuk satu tahun ajaran, sekurangnya ada 6 grup baru di WA-ku.
Masing-masing grup beranggotakan wali murid dan wali kelas, atau wali murid dan guru mata pelajaran. Apa yang rutin kulakukan setiap hari pada grup-grup ini?
Pertama, lihat pesan dari guru, lalu forward ke nomor suami atau bintangi. Kedua, bisukan grup 8 jam. Ketiga, clear chat.
Iya, ketiga hal itu benar-benar kulakukan setiap hari. Bahkan di hari minggu, saat sekolah daring pun seharusnya libur.
Bukan guru yang membuatku sibuk mematikan notifikasi dan membersihkan grup. Aku yakin mereka berlipat-lipat lebih sibuk dariku gara-gara berisiknya WAG.
Misalnya ketika guru menginformasikan sesuatu, tak cukup satu orang mengucap terima kasih. Jika tak kubisukan, barangkali tengah malam pun akan terus berdentang HP itu, yang jika dilongok isinya hanya "terima kasih bu" dari orang kesekian puluh.