Masih menurut sumber yang sama, seorang shopaholic memiliki harga diri yang rendah. Itulah sebab ia merasa wajib mendapatkan apa yang bisa mengangkat harga dirinya di hadapan orang lain.
Selain kesulitan mengontrol impuls, seorang shopaholic juga cenderung materialistis. Tentu saja, mereka kan butuh modal untuk memenuhi fantasinya. Iya, fantasi. Sensasi yang mereka dapat saat belanja dibawanya ketika melakukan kegiatan lain. Sudah tukang belanja, halu pula!
Nah, aku punya contoh seorang shopaholic sejati yang mengaminkan apa yang kudapatkan dari sumber tadi. Â
Kawan dekatku, seorang manajer keuangan rumah sakit, mengeluh setelah mendapatkan pesan WA dari seseorang.
Orang yang dia panggil kakak, meminta bantuan agar dipinjamkan uang. Si kakak mengaku kesulitan keuangan saat pandemi ini. Tak tanggung-tanggung, 8 juta rupiah.
Mungkin tidak besar jika diperuntukkan bagi penyembuhan diri atau keluarganya. Dikejar debt collector, atau yang lebih buruk lagi.
Jauh dari itu, si kakak ini pinjam uang dengan alasan "untuk pegangan". Kawanku tahu betul bahwa kenalannya itu hobi belanja, bahkan untuk barang yang tidak penting. Jelas saja ia menolak.
Selain memang haknya memberi atau tidak, kawanku juga punya kebutuhan sendiri dan sedang membantu adiknya yang juga terimbas pandemi.
Apa jawaban si kakak? Dia ngomel panjang lebar. Tak cukup di chat room mereka, bahkan hingga ke status medsos. Ia merasa tidak dipedulikan, dibohongi, tak dihargai, dll.
"Gak mungkin duit segitu gak punya. Kamu kan single, gak punya tanggungan. Gajimu sebagai manajer pasti besar. Takut gak kubayar ya? Duit segitu kecil, dasar gak mau bantu. Memangnya kapan sih aku minta tolong? ... dst."
Satu lagi, seorang shopaholic juga mengalami masalah keuangan dan emosional.