Ada yang bilang, aku terlalu paranoid pada corona. Jarang keluar rumah, tak mau ke mall, dan tak bersedia mengantar anak belajar opsi tatap muka di sekolah.
Padahal yang ngomong begitu tahu, sebelum pandemi pun aku memang lebih suka ngendon di rumah. Ke mall juga kalau sekadar cuci mata ya eman-eman waktu. Mau belanja, kalau tak perlu-perlu amat mending ditunda.
Sekarang waktunya membeli yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan. Kalau dituruti, mungkin aku bisa tergolong shopaholic, sebab belanja itu memang menyenangkan.
Untunglah yang mau dipakai belanja itu yang gak ada, jadi terhindar dari penyakit mental. Memangnya shopaholic itu penyakit mental? Yup.
Menurut Ruth Engs, profesor ilmu kesehatan terapan dari Indiana University, dengan berbelanja, otak seorang shopaholic melepaskan endorphin dan dopamine. Dan dari waktu ke waktu, perasaan ini menjadi sangat adiktif dan tak terkontrol (hellosehat.com).
Suatu malam, teman suamiku menelepon lama. Di antara sekian banyak curhatannya, sebagai penutup ia memberi kabar yang entah baik atau buruk.
Berkat covid-19, katanya, ia bebas beristirahat di malam Minggu. Sebab selama ini, setiap malam Munggu ia wajib mengantar istri berbelanja ke mall favoritnya. Tak bisa ditolak, pokoknya setiap Sabtu malam, itu waktunya shopping!
Aku sih ikut senang mendengar cerita itu. Bukan urusanku soal teman suami yang bisa istirahat, tapi dengan cerita itu, barangkali suamiku akan makin bersyukur. Istrinya tak pernah memaksa ditemani belanja. Malah aku merasa tak leluasa.
Jika memilih merek yang belum biasa dipakai, aku lebih dulu membaca bahan-bahan kandungan, siapa yang memproduksi, tanggal kedaluwarsa, label halal, kadar gula, kode plastik, dll. Suami gak betah, kelamaan katanya.
Meski demikian, teman suamiku masih harus bersyukur lagi. Setidaknya sang istri masih bisa ditahan dengan alasan menurunnya pemasukan. Sebab jika kadung jadi penderita shopaholic, ia bisa jadi memiliki kepribadian yang menyusahkan orang lain.