Waktu itu aku ngomel saking sebalnya, sebab kejadian ini bukan satu dua kali terjadi. Di mana anak-anak makan tak sesuai adab jelas terlihat oleh guru dan pegawai sekolah. Padahal itu sekolah Islam yang katanya sesuai sunnah, kenapa yang begitu dibiarkan?
Waktu aku ngomel-ngomel, tanpa sadar di balik tiang di dekatku, ada security sekolah. Otomatis dia cemberut. Bahkan setahun di sana, tak pernah sekalipun petugas keamanan itu tersenyum padaku, alih-alih membantu parkir atau sekadar menyeberangkan anakku.
Alhasil, setelah pembagian rapor, kuminta surat pindah ke bagian Tata Usaha.
Berikutnya, si kakak pindah ke sekolah yang kepalanya adalah kenalanku. Awalnya semua berjalan baik, sebagaimana keyakinanku; jangan terpedaya fisik bangunan, tapi lihat kualitas gurunya.
Tapi... kesan yang kudapat ternyata keliru. Guru yang kabarnya sabar-sabar itu, ternyata memang tak berdaya. Si kakak sering mengadu, gurunya ditendang teman, gurunya menangis, gurunya dimaki, oleh siswa yang juga merundung anakku.
Aku tidak menerima begitu saja aduan anakku. Kukonfirmasi ke wali kelas dan kepala sekolah, keduanya malah curhat. Anak itu memang parah sejak dulu. Suka berkata kotor dan memukul siapa saja.
Suatu hari, untuk kesekian puluh kalinya, anakku dibuat menangis oleh temannya ini. Waktu kujemput, tak satu pun guru ada di sekitar sulungku yang tengah menangis sendiri di lantai depan kelas. Orangtua mana yang tega melihat anaknya begitu?
Dan terjadilah, aku terlampau emosi sampai memarahi rival si sulung. Kemudian orangtua anak itu datang, lalu kami adu mulut.
Apa kata wali kelas dan kepala sekolah? Anak itu anak baik. Bahkan guru lain menimpali, bahwa anakku nakal, sementara anak itu baik. Astaghfirullah, yang kemarin cerita pintu ditendang sampai jebol itu siapa? Yang bilang anak itu sombong, kasar, dan suka memaki, siapa?
Satu-satunya kesalahan anakku adalah ia bukan anak dari orangtua yang kaya. Terlalu banyak bukti, yang tak cukup kuketik di sini.
Pantas, waktu aku masih bekerja sebagai tenaga administrasi di sebuah sekolah, ketua yayasan punya target "unik", jadikan sekolah kita sebagai prestise orangtua. Alih-alih memikirkan kualitas guru maupun sarana, yang penting orangtua merasa bangga bisa menyekolahkan anaknya di sana.