Ustaz B sebaliknya, lebih tepat didengar para istri. Bahkan kadang ada tokoh tertentu yang materinya jika didengar suami/istri hanya menghasilkan pasangan mentang-mentang.
Mentang-mentang laki-laki adalah pemimpin, lantas duduk di bawah saja tak boleh. Mentang-mentang perempuan suka ngomel, laki-laki harus maklum jika istrinya "perang digital" di medsos. Tidak sehat.
Untuk motivator atau apa sajalah tokoh di luar jalur berdalil syar'i, patokanku adalah mereka yang berani menasihati bersama pasangan. Artinya, yang dinasihati maupun yang menasihati sama-sama bersama pasangan.
Sebab kalau yang menasihati hanya sendirian, tak ada jaminan yang dia ucap sama dengan yang dilakukan di belakang. Apakah ustaz/ustazah dijamin tidak demikian?
Kita ambil dalilnya. Perkara dia khianat dengan ucapannya sendiri, itu dosa yang ia tahu pasti akan dipertanggungjawabkannya suatu hari nanti.
Kembali pada kisah warganet tadi. Aku pun setuju pada pendapatnya, meski tak ingin anakku punya pengalaman yang sama dengannya.
Cerai tak selalu buruk. Ada orang yang lebih bahagia di pernikahan kedua, tanpa mengorbankan anak-anak. Ada pula yang lebih bahagia tanpa perlu mencari ganti.
Tapi bukan berarti nikah itu sama seperti pacaran. Bongkar pasang semaunya, gonta-ganti tanpa beban. Nikah terlalu sakral jika hanya sekadar cocok-cocokan.
Yang penting, ada niat paling mulia, entah itu pada pernikahan pertama atau yang setelahnya. Bahkan pada perceraian itu sendiri, jika memang harus dipilih, maka niatnya adalah ibadah atau menyelamatkan diri dari hal-hal yang merusak ibadah.
Kalau selama menikah hanya saling zalim dan durhaka, ya bubar saja! Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H