Waktu masih ngantor, kebanyakan karyawan nyambi jualan. Ada yang berkesinambungan, ada yang momentual, ada pula yang angin-anginan, tergantung mood dan kebutuhan. Aku mungkin tergolong yang terakhir.
Barangkali karena dagang ala main-main itu, ada teman yang langganan usil. Beli tidak pernah, ngusik jadi rutinitas.
Di antara sekian banyak tingkahnya jika aku mulai dagang, ada satu yang paling kuingat. Waktu itu dekat Idulfitri. Sambil mengisi toples sendiri, kutawarkanlah snack yang ada di gudang kakakku.
Salah seorang kakakku adalah pedagang grosiran, biasanya dekat lebaran aku bisa ikut menjual minuman sampai puluhan dus, bersama kurma dan macam-macam kebutuhan lebaran. Selisihnya lumayan untuk persiapan THR keponakan.
Kali ini aku tertarik menjual permen jelly warna warni salut gula. Sebelum menawarkan ke teman-teman, sudah kucek dulu label halal, tanggal kedaluwarsa, juga bahan-bahannya. Bukan semata mengantisipasi lidah temanku itu, tapi aku sendiri biasanya begitu jika ingin membeli sesuatu.
Setelah semua aman, kubawa satu pack untuk promo di kantor.
Tadinya aman, orang bertanya ini itu, ada pula yang memesan. Kemudian datanglah dia, basa-basi tanya harga. Feelingku sudah tak enak, mana kantor sedang ramai.
Dan benar saja, tanpa rasa bersalah dia bilang, "Coba beli di situ (dia menyebutkan tempat), harganya lebih murah. Barang-barang kayak gini  banyak di sana, biasanya murah-murah. Ini paling cuma sekian (disebut harga di bawah banderolku, tapi aku tak ingat tepatnya)."
Biasanya, harga kakakku adalah yang termurah di kota ini. Karena beliau termasuk distributor besar. Kadang malah kakakku menantang, sambil bercanda tentunya, "Kalo ado yang lebih murah dari aku, kugendong sampe Palembang!"
Tapi aku malas berdebat. Apalagi sedang puasa, bikin rusak pahala. Untungnya teman-teman lain tahu tabiatnya. Mereka tak merespons ucapan si usil, malah ikut sebal dengan tingkahnya yang tak hilang-hilang sejak dulu.